Revolusi Islam Indonesia 1945-1949

Nunu A Hamijaya

Bandung penanews.net Jawa Barat- Kevin W Fogg, seorang peneliti dari Universitas Oxford, Inggris menulis tentang sejarah islam di masa revolusi Indonesia dengan berani memberi judul bukunya Indonesia’s Islamic Revolution (2020). Namun, dengan alasan tertentu, kemudian sedikit ‘dijinakkan’ oleh Penerbit Noura Books dengan frasa “spirit Islam”menjadi “Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia”.
Buku ini berangkat dari kritik terhadap dominasi narasi nasionalis-sekuler tentang revolusi kemerdekaan Indonesia. Tapi, pada saat yang sama, ia melihat kesenjangan ideologi revolusi antara muslim taat di akar rumput dan elite.

“Sanwar masih gadis enam belas tahun ketika menikah dengan Anwar Jalil, seorang guru mengaji di sebuah madrasah dekat kampungnya, di Kota Padang Panjang…”
Kalimat mirip cerpen atau novel itu mengawali buku Kevin Fogg, Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia. Buku secara intensif memakai materi sejarah lisan dengan mewawancarai ratusan pelaku sejarah dan saksi, baik dari kalangan akar rumput maupun elite politik. Fogg lalu menggunakan catatan-catatan kearsipan dan sumber-sumber terbitan untuk melengkapi sejarah lisan tersebut.
Melalui kisah Sanwar di atas dan banyak materi sejarah lisan lain, Fogg berupaya menggambarkan bahwa citra nasionalis-sekuler yang tampak dalam setiap perayaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus sangat berbeda dengan pengalaman jutaan muslim di seantero Indonesia pada masa revolusi Indonesia (periode perjuangan membebaskan Indonesia dari rekolonisasi Belanda antara 1945 hingga 1949).

FB IMG 1669644105308
Sanwar dan suaminya, misalnya, mengetahui Republik Indonesia merdeka bukan melalui berita-berita tentang proklamasi dari radio atau suratkabar tapi dari ustaz kampung mereka. Orang-orang seperti mereka pulalah yang bertempur di medan perang karena perintah perang suci yang dikeluarkan oleh para guru agama, demi mempertahankan kemerdekaan dari orang kafir di bulan paling suci bagi umat Islam, Ramadhan.

Bagi Fogg, konteks revolusi Indonesia tidak cukup terjelaskan jika kita hanya melihatnya dari perspektif Presiden dan Wakil Presiden pertama di Jakarta atau pemimpin nasionalis non-sektarian lainnya. Kita juga harus mendengar pengalaman dan menyelami perasaan jutaan muslim di Indonesia pada masa itu.
Fogg menyajikan argumen mengapa dia memilih frasa “Revolusi Islam Indonesia”.Orang-orang Islam di akar rumput yang berpartisipasi dalam perang kemerdekaan Indonesia melihat perang itu sebagai perjuangan untuk tujuan Islam dan mengorganisasi diri dengan cara-cara Islam. Ada instruksi eksplisit berupa fatwa-fatwa jihad dari para pemimpin Islam. Muslim akar rumput percaya bahwa kewajiban berperang mengikat kaum beriman dan yang gugur akan menjadi syuhada. Retorika para pemimpin Islam pada masa itu telah menjustifikasi perang kemerdekaan sebagai revolusi Islam.

FB IMG 1669644105308 1 FB IMG 1669644035136
Kemudian, mereka menyalurkan semua itu melalui laskar-laskar Islam. Laskar yang paling terkenal adalah Sabilillah dan Hizbullah. Laskar-laskar ini, menurut catatan sejarah, bahkan memiliki persenjataan yang lebih lengkap daripada satuan-satuan militer resmi di daerah.
Lebih jauh, untuk menunjukkan bahwa perjuangan militer pada masa itu memiliki citra rasa Islami, Fogg mengajukan semacam data statistik. Menurutnya, sekitar seperempat hingga setengah penduduk Indonesia yang bertempur di perang kemerdekaan adalah mereka yang disebut “kaum santri” atau “muslim taat”. Dia mendasarkan ini pada hasil pemilihan umum 1955, dimana sekitar 44 persen pemilih memberikan suara kepada partai-partai Islam.
Fogg mengingatkan kita bahwa historiogafi Indonesia lebih didominasi oleh narasi legitimasi rezim, kultus pribadi, dan prestise militer (terutama Angkatan Darat) sebagai pengawal kemerdekaan. Padahal, para pelaku lapangan yang signifikan jumlahnya adalah kaum santri pejuang kemerdekaan.
Spirit Islam berangkat dari kritik terhadap dominasi narasi nasionalis-sekuler tentang revolusi kemerdekaan Indonesia. Tapi, pada saat yang sama, ia melihat kesenjangan ideologi revolusi antara muslim taat di akar rumput dengan elite. Bagi muslim yang berjuang di medan tempur, ideologi Islam mereka dalam revolusi tidak mesti terwujud dalam negara Indonesia, sedangkan muslim elite berupaya keras memberi “cap” Islam pada negara yang baru lahir itu. Menurut Fogg, kesenjangan ini merupakan salah satu kelemahan besar politik Islam di Indonesia sejak pertengahan Abad ke-20.

Tjiradjang, Pasca Gempa Cianjur,21-28 Nov 2022

 

 

Kasman Singodimejo dan Harsono Tjokroaminoto
tentang SM Kartosuwirjo

Bagian II

Foog menulis bab khusus tentang Darul Islam (Bab6).Fogg mengakui bahwa banyak orang Indonesia secara otormatis berpikir tentang DI-nya S.M. Kartosuworjo di Jawa Barat, Ketika berpikir tentang perang atas nama Islam untuk mendirikan pemerintahan Islam di Indonesia saat revolusi dan sesudahnya.
Ia menyatakan,” kasus ini terkanal katena tumbuh sebagai sebuah pemberintakan tahun 50-an dan menyebar ke daerah-daerah lain di Indonesia. Tersohor pula karena melahirkan dan mengilhami kaum radikalIslam yang terlibat akais-aksi kekerasan terhadap negara Indonesia dan kelompok-kelompok non Muslim sejak 1990-an. Dampak lanjutan dari Gerakan ini setelah revolusui manarik perhatian dari semua sisi,sehingga dipandang sebagai kasus luar biasa dan sebagai peringatan tentang bahayanya pemberontakan Islam.

Menutunya, faktanya gerakan DI memang istimewa,tapi tidak dalam semua cara yang diyakini pemahaman popular saat ini. Nama gerakan ini, dikenal sebagai Darul islam memang tepat sekaligus menyesatkan. Para pejuang ditingkat akat rumput lebih menyebut dirinya sebagai pejuang DI,dan nama itulah yang terpatri dalam sanubarinya dan diskursus popular hingga saat ini dibandingkan dengan nama resminya sebagai Negara Islam Indonesia. Islam memang menjadi fondasi ideologi (meminjam istiah Chiara Formichi) yang mendasari gerakan bersenjatanya.

Fogg menulis ulang tentang perjuangan Jihad DI/TII – nya SM Kartosuworjo dalam kaitannya dengan Revolusi Indonesia, yang menyatakan :
‘Ketahuilah! Bahwa perjuangan yang kami usahakan hingga berdirinya Negara Islam Indoesnia itu adalah kelanjutan perjuangan kemerdekaan, menurut dan mengingat Proklamsi 17 Agustus 1945”

Kasman Singodimejo, seorang politisi dari Partai Masjoemi, yang terlibat bersama Ki Bagoes Hadikusumo dalam peristiwa dihapusnya 7 Kata dalam Mukadimmah UUD 1945 hasil Panitia BPUPKI, yang saat itu menjabat Kepala Pengadilan Militer Indonesia menulis surat kepada Menteri Pertahanan sebagai jawaban dalam pemeriksaan tentang seruan S.M. Kartosuwrijo mengatakan,
“Pengumuman Perang Sabil oleh SM Kartosuwirjo menurut kaca-mata agama, terutama berdasarkan keadaan darurat, boleh tidak salah. Berdasarkan politik negara yang menghadapi revolusi nasional sekarang ini, disandarkan pula pada anjuran dari pihak pemerintah untuk mengadakan perjuangan pembelaan yang total.(volksdefensie) dan gerilya rakyat, maka tindakan S.M. Kartosuwirjo itu telah pada tempatnya.Pemerintah tidak bisa lain daripada bersyukur kepada Allah, yaitu Tuhan Yang Maha Esa Republik Indonesia sebab putra-putranya ada yang berani dan perwira semacam S.M. Kartosuwrijo.
Surat dari Kasman Singodimejo,22 Oktober 1947, bersama dengan Burhanudin Harahap mengemukakan pembelaan atas Darul Islam dihadapan komando TNI pada Desember 1948.(Sumber ANRI RA10,Documenten,#218.
Menurut Foog, faktor utama yang menjaidkan DI istimewa adalah sosok pemimpinya yaitu SM, Kartosuwirjo.
Narasi sejarah banyak menulis keliru tentang hubungan yang dekat antara Soekarno dan SM Kartosowirjo. Padahal, salahsatu tokoh yang punya hubungan dekat secara pribadi dengannya adalah Harsono Tjokroaminoto (putra HIS Tjokroaminoto)
“ ..wataknya yang keras,…Mas Karto itu, tidak bisa digolongkan orang yang biasa disebut pemimpin yang diplomatis… bagi saya Mas Karto itu lebih kenak kalau dinamakan seorang pemuka atau perintis jalan-perintis sesuau ide dan perintis sesuatu gagasan.. Watak ataupun pribadinya Mas Karto itu bukanlah watak yang sekadar mengikuti ataupun sekedar anut grup, melainkan , beliau itu selalu ingin ke muka dan di muka dengan membawa gagasan-gagasannya (Sejarah lisan bersama HT diwawancarai oleh Wardiningsih Surjiharjo,ANRI SL1 1982#60 tape 12)

Tjirandjang, masa asca genoa cianjur,21 – 28 Niv 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *