Demokrasi Wani Piro, Ancaman Kekuasaan Kaum Pedagang

Demokrasi Wani Piro, Ancaman Kekuasaan Kaum Pedagang

 

Oleh : Bambang Wiwoho, Penulis, Jurnalis

Menarik tulisan bertubi-tubi dari aktivis muda Haris Rusly dan aktivis senior M.Hatta Taliwang, yang amat prihatin dengan sikon NKRI yang mulai dari Presiden, Wapres, pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara, Komisi-Komisi, DPR/DPRD sampai dengan Kepala Daerah-Kepala Daerah dikuasai oleh para saudagar/pedagang/pengusaha.

Sebagai orang awam, yang belajar sejarah lebih banyak dari baca buku-buku populer, mbah Google dan televisi termasuk channel-channel asing seperti BBC dan lain-lain. saya juga sedih sekaligus heran.

Baik dalam kisah-kisah mitologi Yunani, China, Kesultanan Aceh, Jawa apalagi India, tanpa bermaksud mengecilkan apalagi merendahkan martabat kaum pedagang, rasanya kok memang belum pernah saya melihat para pedagang diberi kesempatan ikut menjadi penguasa atau pemimpin kerajaan/negara/negarawan???

Mengapa? Pada hemat saya sederhana saja. Memang filosofi hidup pedagang dengan negarawan itu jauh berbeda.

Pedagang itu mendagangkan, menjualbelikan, membisniskan apa saja potensi dan kesempatan yang dilihat dan dijumpainya. Bagi mereka bagaimana dengan modal sekecil-kecilnya tapi bisa memperoleh untung yang sebesar-besarnya. Prinsip hidupnya adalah profit, untung, untung bagi dirinya. Yang lain? Biarlah orang lain yang urus.

Hal itu sangat berbeda dengan negarawan, yang mengutamakan azaz benefit, sebesar-besar kemaanfaatan dan kemaslaharan bagi masyarakat banyak, bagi bangsa dan negara, yang jika perlu jiwa raga dan harta bendanya pun akan dikorbankan.

Maka celakalah sesuatu bangsa yang dikuasai oleh para pedagang dan bukan oleh para negarawan. Karena semuanya akan diperdagangkan, dibisniskan, jabatan, kekuasaan, tanah, air, sumberdaya alam, orang/manusia/rakyat dan apa saja bagi mereka adalah komoditi, yang pantas bahkan harus diusahakan untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi dirinya.

Dalam Hindu, kasta saudagar adalah kasta kedua dari bawah. Juga dalam filosofi Jawa, mereka itu di bawah para ulama, ksatria, priyayi, guru dan para seniman.

Di China, baik para kaisar, pun ksatria Herkules dalam mitologi Yunani, sahabatnya yang pengusaha akan dilemparkan jauh-jauh jika ia sudah harus menjalankan tugas dan hakikat keksatriaannya.

Bagaimana di Indonesia? Di era Orba kita pernah mengalami masa penyimpangan dengan praktek dwifungsi ABRI. Penyimpangan tersebut di era Reformasi telah kita koreksi, dan ABRI dengan legowo menerima koreksi tersebut. Padahal kalau mau ngotot? Mau dan bisa apa kita kaum sipil?

Sungguh ironis, yang tampil mengambil kesempatan bukanlah para patriot dan negarawan yang rela berkorban bagi banga dan negarawan, melainkan para pedagang yang dengan cepat dan dengan sila “Keuangan Yang Maha Kuasa”, mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh dwifungsi ABRI, dengan Dwifungsi Gaya Baru. Dwifungsi Pengusaha-Penguasa. Maka berlangsunglah apa yang kita kenal sekarang ini dengan “demokrasi wani piro”.

Menjadi pertanyaan apakah Indonesia memang sudah tidak lagi memiliki para patriot dan negarawan? Kemanakah mereka sekarang? Kemanakah para patriot prajurit Sapta Marga kita? Apakah juga sudah mlungsungi, bermetafora jadi pengusaha penguasa, sehingga membiarkan bahaya besar mengancam menghancurkan bangsa dan negaranya? Saya yakin tidak. Mereka hanya sedang mengalami culture shock akibat dihapuskannya dwifungsi ABRI secara mendadak tempo hari.

Mereka pasti akan segera sadar dari shocknya, karena panggilan jiwa patriotismenya. Di samping itu kini juga sudah mulai merebak, bergelora semangat patriotisme di kalangan masyarakat luas khususnya mahasiswa, generasi muda dan para kelas menengah atas yang tercerahkan. Matahari mulai bercahaya! Alhamdulillah. Aamiin.(*)

Foto2 bambang wiwoho.jpg

Bambang Wiwoho

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *