Bogor. penanews.net _ Jawa Barat. Mencuatnya kabar dugaan penggelapan dana bantuan keuangan (bankeu) untuk pembangunan desa mencuat ke permukaan. Pasalnya, ada dua desa di Kabupaten Bogor yang di duga kuat tidak melaksanakan kegiatan pembangunan, padahal dana bantuan keuangan untuk desa sudah dicairkan.
Pengamat politik dan kebijakan publik, Yusfitriadi melihat ada beberapa faktor yang menimbulkan permasalah dalam penataan pemerintahan desa, terutama dalam pengelolaan keuangan.
“kalau melihat dari sumber keuangan yang sudah berjalan secara rutin masuk ke pemerintahan desa, minimal ada dua sumber, yaitu dana desa pemerintah pusat dan dana pengembangan desa dari pemerintah kabupaten Bogor (populer dengan istilah Samisade,” ungkap Yusfitriadi.
Pendiri Lembaga Visi Nusantara Maju ini menambahkan, selain sumber dana itu, ada beberapa sumber yang berpotensi masuk ke pemerintahan desa, seperti dari perusahaan yang berbentuk bonus keuntungan, beberapa perizinan, atau dana tempora berbasis program seperti pengembangan BUMDES.
Ia menegaskan, seharusnya dana yang sudah dipastikan masuk secara rutin maupun yang berpotensi menjadi sumber keuangan pemerintahan desa tersebut bisa dikelola secara transparan, akuntabel, efektif dan efisien.
“Namun faktanya beberapa desa justru diindikasikan bermasalah dengan tata kelola keuangan desa tersebut, terutama pada sumber yang sudah secara rutin masuk dan dikelola oleh pemerintahan desa. Bahkan masalah tata kelola ini sangat mungkin mengarah kepada perilaku koruptif,” papar Kang Yus, sapaan akrabnya.
Menurut Kang Yus, ada beberapa faktor yang mengakibatkan potensi masalah perilaku koruptif muncul terhadap dana yabg masuk ke pemerintahan desa :
Pertama, soal kapasitas sumber daya manusia (SDM). Perlu difahami, Kepala desa (Kades) merupakan jabatan politis, sehingga berbicara jabatan politis tidak dengan serta merta berbicara kapasitas namun lebih pada pengaruh terhadap masyarakat.
“Nah ketika bicara pengaruh, maka calon kepala desa sangat bisa mempengaruhi masyarakat dengan berbagai cara, misal dengan uang, dengan intimidasi, dengan kekuatan politik dan sebagainya. Sangat jarang dalam pemilihan kepala desa adanya kontestasi gagasan. Sehingga bisa jadi yang terpilih jadi Kades adalah orang yang mempunyai pengaruh kuat dengan cara apapun bukan orang yang mempunyai kapasitas dengan gagasan,” paparnya
Selain itu, sambungnya, SDM pada level teknisnya pun terkadang tidak siap. Misal nya dalam mengelola dana yang cukup besar setiap tahun, sudah seharusnya ada akuntan di dalam pemerintah desa. Karena akuntan tersebut yang akan mengukur efektifitas penggunaan dana dan validitas pelaporan keuangan sehingga akan mampu meminimalisir penyimpangan dan kebocoran anggaran.
Faktor Kedua, adalan Mentalitas. Dalam beberapa periode terakhir, terlihat jika animo masyarakat cukup besar untuk menjadi Kepala Desa. Bahkan sampai rela mengeluarkan dana besar hingga milyaran rupiah. Pertanyaannya, berapa gaji kepala desa? dari mana uang nya akan dikembalikan?
“Disinilah masalah mentalitas. Mereka mempunyai harapan uang yang sudah digunakan dalam proses pencalonan kepala desa akan dikembalikan baik melalui dana desa, samisade maupun sumber dana lain yang itu merupakan dana pemerintahan desa,” tuturnya.
Yang Ketiga, lanjut Kang Yus, tidak optimalnya pendamping desa. Salah satu struktur yang ada di desa adalah pendamping desa. Telah sama-sama difahami bahwa tugas pendamping desa sama saja dengan konsultan. Dimana tugas utamanya adalah mendampingi pemerintahan desa dengan berbagai variabel nya agar mampu mengelola pemerintahan termasuk mengelola keuangan desa.
“Namun sampai saat ini, tugas dari pendamping desa seakan menjadi sub ordinat dari pemerintahan desa, yang ikut larut dalam permainan berbagai program di pemerintahan desa,” cetus Kang Yus.
Keempat, perencanaan yang tidak berkualitas. Bagaimana tidak, seperti Pemkab Bogor saja sangat terlambat mengajukan dana desa dan samisade, sehingga pencairan anggaran tersebut sudah di detik – detik akhir, bahkan menjelang pelaporan, padahal anggaran tersebut harus terserap secara optimal.
“Selain itu, perencanaan kegiatan relatif seragam di seluruh desa, seakan tidak melihat berbagai aspek kebutuhan yang tentunya tak mungkin sama,” imbuhnya.
Faktor Kelima, pengawasan yang lemah dari instansi diatasnya, baik itu SKPD, Inspektorat maupun BPK yang tidak optimal dalam melakukan peran – peran pengawasan. Lembaga – lembaga ini hadir hanya dalam konteks pengawasan administratif berlabel pembinaan.
“Padahal kita sangat faham bahwa dalam mengawasi dan mengaudit kinerja pemerintahan, tidak hanya sekedar administratif namun juga harus faktual. Untuk memvalidasi kesesuaian perencanaan, anggara dan kinerja pemerintahan desa,” tandas Kang Yus.