Oleh Nunu A Hamijaya
Bandung, penanews.net Jawa Barat- Tulisan ini terinsiprasi dengan postingan Yoyok Tindyo di FB dengan judul BERTEMU MANTAN KETUM PP MUHAMMADIYAH. Yang menarik, sebuah dialog penulisanya dengan Buya Syafii Maarif,saat itu Ketum PP Muhammadiyah. Menarik karena tema yang diangkat adalah tentang ‘negara islam, demorasi,dan khilafah ’ merupakan diskursus yang ‘panas dan krusial’.Terlebih dalam sepuluh tahun ini, labelisasi negatif terhadap islam, seperti terorisme, radikalisme, dan fundamentalisme menjadi sebab mussabnya islamphobia. Namun, yang lebih menarik lagi, bahwa diskursus ini melahirkan produktivitas intelektual yang sangat ditunggu dari sebuah ‘perdebatan ilmiah’.
Penulis kutip dialog yang dimaksud berikut ini ::
Saat saya menyampaikan sebuah buku tulisan teman-teman sy yang merupakan jawaban atas buku tulisan teman2 beliau..
Buku tulisan teman2 beliau itu berjudul ‘Ilusi Negara Khilafah’ sedangkan judul tulisan teman2 sy itu berjudul ‘Ilusi Negara Demokrasi’
“Wah hebat..HTI cepat sekali menjawab” ujar beliau sambil tersenyum..kedua buku itu memang terbit dalam jarak yg tidak terlalu lama..
Penulis sengaja mengawali tulisan ini dengan menyajikan cover empat buah publikasi cetak, yakni majalah, dan tiga buku berkenaan dengan tema ‘negara islam,demokrasi,dan khilafah’. Banyak yang sudah mengetahui isidari ketiga ublikasi tersebut, mungki juga simpul-simpul pentingnya.
Hanya ‘Manusia yang Punya Mimpi”
Yang membedakan manusia dengan binatang adalah perkara mimpi. Malaikat pun mempunyai suatu mimpi, sesuatu yang mungkin terbayangkan akan terjadi di kemudian hari. Moment sejarah ini direkam al Quran saat Allah SWT berencana hendak menjadikan manusia sebagai khalifah. Malaikat pun memberikan pernyataan kekhawatirannya, “Mereka (Malaikat) berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah” padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?”(QS 2 :30-31).
Soal ‘mimpi’ ini ternyata memiliki status terhormat dalam diskursus bernegara tatkala Yusuf bermimpi tentang tujuh ekor sapi kurus dan sapi gemuk’ yang mengantarkannya menjadi penasehat atau menteri pada pemerintahan al Malik (bukan Fir’aun yang kafirin) di Mesir.
Demikian pula, tatkala Firaun di dalam tidurnya bermimpi tentang datangnya api dari arah Baitul Muqaddas, lalu membakar seluruh rumah di Mesir dan semua rumah milik bangsa Qibthi. Tetapi api tersebut tidak membahayakan bani Israil. Atas dasar mimpi itulh, kebijakan politik Firaun untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir dari Bani Israil. Teradap mimpi itu, para dukun lalu menafsirkannya. Mereka mengatakan akan ada seorang anak yang dilahirkan di kalangan bani Israil. Anak itu akan menjadi penyebab hancurnya bangsa Mesir. Kisah ini diceritakan Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam bukunya Al-Bidayah Wan-Nihayah yang diringkas Ahmad Al Khani. Firaun kemudian memerintahkan pasukannya membunuh seluruh bayi laki-laki. Ia memerintahkan melakukan pembunuhan bayi laki-laki dalam jangka waktu setahun. Setahun kemudian berhenti, dan satu tahun selanjutnya melakukan pembunuhan bayi laki-laki lagi.
Al Quran menyebut mimpi dalam dua bentuk kata, yaitu adghasu ahlam dan ru’ya. Keduanya memiliki makna dan kondisi yang berbeda. Ra’yu itu merupakan mimpi yang bisa menyingkap misteri alam ghaib atau kejadian yang bersifat futuristik.
Sedangkan adghasu ahlam merupakan mimpi yang sulit ditafsirkan, yang mesti dijabarkan dalam analisa mendalam. Seperti QS Yusuf ayat 44:
قَالُوا أَضْغَاثُ أَحْلَامٍ ۖ وَمَا نَحْنُ بِتَأْوِيلِ الْأَحْلَامِ بِعَالِمِينَ
Mereka menjawab: “(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu menta’birkan mimpi itu”.
Dalan dunia psikologi Barat, yang terkenal adalah Teori Sigmund Freud tentang mimpi dalam psikologi merupakan sebuah pemahaman yang baru dalam hal pendekatan t erhadap analisis psikologi melalui mimpi dalam psikologi tersebut. Mimpi dalam psikologi yang dikatakan oleh Freud adalah hal yang tidak berhubungan dengan hal mistis seperti ilham atau untuk meramalkan masa depan.
Tentu saja, dalam konteks tulisan ini, ‘mimpi negara islam’ sebagai judul topik utama majalah Tempo yang direpresentasikan kepada sosok S.M.Kartosuwirjo dengan Negara Islam Indonesia (NII) bukanlah ‘hasil mimpi semalam’ sebagaimana halnya Yusuf atau Firaun. Proklamasi NII dan perjuangan mewujudkannya sepanjang 13 tahun (1949-1962) jelas-jelas bukan sebuah mimpi atau produk mimpi, apalagi ‘ngalindur’ (bahasa Sunda). Sejarah mencatat, bahwa agenda berdirinya sebuah ‘negara islam’ di Indonesia, sudah lama dipikirkan dan direncanakan, sejak peristiwa Zelfbestuur (NATICO-CSI, 1916) hingga Konferensi Tjisajong (1948) yang Pada tanggal 10-11 Februari 1948 yang dihadiri oleh 160 wakil-wakil organisasi Islam seperti K.H. Ahmad Sanusi, K.H. Yusuf Taujiri, S.M. Kartosuwirjo, Lukman Dahlan, Kamran, KH Gozali Thusi, Syeikh Badruzaman,R. Oni, Kamran, KH Choer Affandi,dan masih banyak lagu yang lainnya, hingga memeroleh momentumnya pada 7 Agustus 1949.
Apakah Ilusi ? Bagaimana Negara Demokrasi sebuah Ilusi?
Kata ilusi dapat merujuk pada gambaran, ide, atau keadaan pikiran yang muncul dari imajinasi, dari kerinduan. Istilah ini memiliki dasar dalam bahasa Latin illusĭo yang berarti penipuan. Ilusi, adalah sebutan yang umum dialami oleh penderita gangguan jiwa tertentu, seperti skizofrenia atau gangguan psikotik.
Ilusi merupakan istilah yang erat kaitannya dengan kesehatan mental. Pasien gangguan jiwa yang mengalami kondisi tersebut sulit untuk membedakan hal yang nyata dan tidak. Dalam bahasa Arab, ilusi semakna dengan kata ‘wahm’. Sedangkan meurut KBBI, Iljsi artinya n 1. sesuatu yang hanya dalam angan-angan; khayalann pengamatan yang tidak sesuai dengan pengindraan a tidak dapat dipercaya; palsu.
Apakah ‘ilusi’ sudah tepat disematkan menjadi satu istilah ‘ilusi negara demokrasi’ atau ‘ilusi negara khilafah’? Tentunya, akan dijawab oleh para pengguna istilah tersebut dalam buku-buku yang ditulis oleh para intelektual tadi.
Berkenanan dengan isi buku berjudul ‘Ilusi Negara Demokrasi’, berikut beberapa temuan dari peresensi Maya Rohmah berikut ini.
Buku ini terdiri dari delapan bab. Perinciannya sebagai berikut: Bab I, Seputar demokrasi dalam tataran teori dan praktik; Bab Il, Seputar demokrasi, hubungannya dengan ideologi kapitalisme sebagai ‘induk’-nya, yang kemudian dikaitkan dengan terjadinya kesenjangan kaya-miskin; Bab lll, Seputar demokrasi sebagai sistem politik yang problematis; Bab lV, Seputar demokrasi dan problem dunia pendidikan, khususnya terkait dengan sekularisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan; Bab V, Seputar demokrasi dan penghancuran pranata sosial-budaya; Bab lV, Seputar ilusi negara demokrasi; Bab Vll, Seputar demokrasi dan kaitannya dengan Islam; dan Bab Vlll, Seputar keniscayaan negara syariah.
Sekarang pertanyaannya, sebutkan satu saja, negara manakah yang benar-benar menerapkan demokrasi? Jawabnya, tidak ada. Tipikal negara demokratis hanya ada dalam angan. Amerika, misalnya, yang dianggap sebagai ‘kampiun demokrasi’, tidak pernah menjadi contoh terbaik sebagai negara pengusung demokrasi. Bagaimana dengan Eropa? Faktanya sama saja.
Banyak penganut sekularisme memandang bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan bagi dunia. Hal ini sering dipropagandakan oleh negara-negara Barat kepada Dunia Ketiga agar mereka mau dan setia menerapkan sistem demokrasi, tentu saja termasuk dunia Islam. Kampanye demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang mereka lakukan mempunyai dua tujuan yaitu: (1) untuk melindungi keamanan Amerika; (2) meningkatkan kesejahteraan Amerika.
Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah pembahasan tentang bagaimana negara adidaya mengembangkan konsep civil society (masyarakat sipil) untuk menciptakan para penguasa yang lemah di tiap-tiap negara. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) didorong untuk menjadi “pemerintah-pemerintah kecil” sehingga masyarakat dapat mengurus dirinya sendiri. Bahkan di Indonesia, pemerintah Amerika memberikan bantuan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk mengekspos segala tindak kekerasan sipil dan militer menurut standar mereka. Secara rutin pula, mereka mengeluarkan laporan tahunan mengenai pelaksanaan HAM di tiap negara, lagi-lagi dengan standar mereka (Halaman 64).
Buku ini menguak begitu banyak aib demokrasi dalam segala aspeknya. Paparannya lugas dan bernas, sarat dengan fakta-fakta yang valid dan faktual, yang menegaskan bahwa demokrasi ideal hanya ada dalam khayal, dan cita-cita mewujudkan negara demokrasi hanyalah sebuah ilusi!.
Ilusi Negara Islam adalah buku dengan editor
KH.Abdurrahman Wahid; Prolog Dr. Syafii Maarif dan Epilog
KH. Mustofa Bisri. Menarik untuk dikemukakan tentang latarbelakang terbitnya buku tersebut. Pada 16 Mei 2009 lalu, secara bersama-sama, Maarif, the Wahid institute, dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika, me-launching buku pamflet bernuansa SARA, berjudul Ilusi Negara Islam (INI). Tapi aneh, seminggu kemudian digugat oleh sejumlah peneliti yang dicantumkan namanya dalam buku dimaksud. Para peneliti tersebut merasa tidak melakukan penelitian yang menghasilkan provokasi murahan itu.
Buku ‘Ilusi Negara Islam’, memang sarat dengan muatan kebencian, politisasi dan juga adudomba antara warga Muhammadiyah dan NU yang secara sengaja ataupun kebetulan berafiliasi secara politik ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ada juga yang disinyalir aktif di organisasi gerakan lain yang dicap radikal seperti Front Pembela Islam (FPI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).Kategorisasi Islam radikal yang dilabelkan pada gerakan Islam, seperti PKS bersama-sama HTI, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), MMI, FPI, dan sejumlah ormas Islam lainnya. Menunjukkan dengan sangat jelas motivasi dan misi politik belah bambu yang dibawa persekutuan LibForAll. Caranya, memetakan jenis organisasi ‘Islam radikal’ yang harus diberantas, dan meghembuskan amarah ‘Muslim Moderat’ yang bertindak sebagai penadah demokrasi dan bersahabat dengan orang-orang kafir.
Buku ini menjeneralisir bagaimana infiltrasi wahabi dan salafy ke tubuh NU dan Muhammadiyah. Tidaqk lupa pula menyebutkan, bahwa ide-ide wahabi sudah banyak menyebar ke dalam fiqih Muhammadiyah yang kemudian menjadikan Muhammadiyah terkenal sebagai ormas Islam yang memproklamirkan purifikasi Islam, pemurnian masyarakat dari unsur TBC: Takhayul, Bid’ah dan Churafat.
Terhadap makna ‘ilusi’ yang disandangkan kepada Negara Khilafah, kita dapatkan pemahaman yang lebih to the point sebagaimana dikemukan oleh Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin,
“Nation state dalam bentuk dan sistem pemerintahan apapun kini tidak bisa diingkari keabsahannya, sehingga umat Islam tidak lagi perlu berilusi apalagi memaksakan diri untuk menerapkan dan memperjuangkan sistem khilafah yang bersifat global,” tegasnya.
“Saya tidak mengingkari peristiwa bersejarah tersebut, namun itu tidak lagi sejalan dan relevan dengan konteks politik kekinian. Misalnya syarat imam harus dari suku Quraisy itu sudah tidak mungkin bisa diterapkan lagi sekarang ini karena sistem khilafah kini tidak lagi berlaku dan diakui keabsahannya. Sedangkan sistem negara dalam dunia politik modern lebih memilih nation state apapun bentuknya,”
Belajar dari Pengalaman
Mimpi dan ilusi adalah urusan persepsi dan perspektif terhadap realitas sejarah bernegara. Dengan khazanah pengalaman bernegara-berpemerintahan era khilafah islam (monarch islam), sejak Umayyah-Abbasiyyah, hingga Utsmaniyyah dan kesultanan-kesultanan di kawasan al Biladil Jawi, maupun pengalaman negara-negara bangsa (national state) yang merupakan by desain Barat sejak Perjanjian Skyes-Picot (1916).
Dan tentu saja, pengalaman bernegara di Indonesia, dengan hadirnya dalam 1 Negeri dengan 3 Proklamasi yaitu NII, Negara RI (1945-1946), maupun Negara RIS ( bergantinamanya menjadi NKRI,1950- sekarang). Semua akan menambah ‘kekayaan batin dan intelektual’ bagi generasi umat islam bangsa Indonesia ke depan. Bagimana mewujudkan mimpi-mimpi yang belum terwujudkan sebelumnya ,sebagaimana isyarat al Quran
“ wa tilkal-ayyāmu nuDĀWILUHĀ bainan-nās, wa liya’lamallāhullażīna āmanụ wa yattakhiża mingkum syuhadā`, wallāhu lā yuḥibbuẓ-ẓālimīn”
Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim,” (Q.S. Ali ‘Imran: 140)
Wa likulli ummatin ajalun fa izaa jaaa’a ajaluhum laa yastaakhiruuna saa’atanw wa laa yastaqdimuun
Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun. QS. Al-A’raf Ayat 34
Rawapaku-Tjirandjang, 1 Juni 2022