Oleh : Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. (Ketua Umum HRS Center)
Bandung, penanews.net Jawa Barat- “Episode Islamophobia yang koheren dan direksional dengan evolusi ideologi manusia akan berakhir (The End of History). Syariat Islam akan kembali berdiri tegak, setegak-tegaknya. Pembentuk dan eksponen Islamophobia yang berdiri di belakang Dajjal terlaknat akan hancur, sehancur-hancurnya (The last Man).”
Islamophobia merupakan hasil kerja ideologi politik global guna kepentingan hegemoni dan dominasi kaum anti Islam. Berbagai deskripsi memperlihatkan ekspresi kebencian terhadap Islam yang demikian overdosis. Islamophobia tidak akan pernah mengakui kebenaran absolut syariat Islam dengan universalitasnya. Pembentuk Islamophobia sesungguhnya sadar akan superioritas syariat Islam. Islamophobia dimaksudkan untuk mendiskreditkan umat Islam agar terjadi transformasi syariat Islam yang berujung inferori. Syariat Islam hendak dinegasikan dalam ekonomi politik global. Oleh karena itu transplantasi pikiran global ditanamkan ke dalam pikiran para komprador.
Komprador inilah yang menjadi eksponen terdepan Islamophobia disuatu negara, termasuk Indonesia. Masifnya agitasi ditujukan guna membentuk pikiran secara salah di masyarakat. Eksponen terdepan Islamophobia menebar berita hoaks, provokasi yang didalamnya sarat dengan kebencian dan adu domba. Islam dilabelkan sebagai suatu ancaman terhadap kebebasan, kesetaraan, demokrasi, individualisme, hak asasi manusia, dan lain sebagainya.
Islamophobia yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari pengaruh global, regional maupun nasional. Kesemuanya itu saling berhubungan yang pada akhirnya membentuk titik ekuilibrum. Suatu kondisi terbentuknya pemufakatan jahat antara penerima manfaat (aktor global) dengan komprador Islamophobia.
Pemufakatan jahat menunjuk pada tujuan menempatkan syariat Islam di bawah hukum positif. Kedaulatan Tuhan digantikan dengan kedaulatan rakyat yang dioperasionalkan secara semu, untuk tidak mengatakan palsu. Produk hukum semakin menimbulkan mudarat, para pejabat ingkar amanat dan rakyat menghamba pada korporat. Pada akhirnya aktor global mampu menjadikan negara merdeka sebagai negara satelit. Demikian itu memang telah direncanakan sejak lama guna sistem global dalam tatanan dunia baru (novus ordo secrolum).
Pengendali sistem global ini tiada lain adalah Dajjal. Pastinya si “mata satu” ini akan muncul pasca al-Malhamah al-Kubro (Barat: Armageddon). Sudah demikian banyak para pakar menyampaikan hal demikian. Terkait dengan novus ordo secrolum yang dicirikan dengan globalisasi (liberalisasi ekonomi), maka kondisi saat ini menunjukkan bahwa kedaulatan negara semakin pudar. Peran negara telah tergantikan dengan actor nonstate. Oligarki ekonomi dan politik memiliki posisi dominan yang terhubung dengan kepentingan global. Sejalan dengan itu, peranan agama Islam semakin mendapatkan tekanan dengan menguatnya paham sekularisme. Di sisi lain persekusi dan kriminalisasi dilakukan klasterisasi. Penerapannya demikian terstruktur, sistemik dan masif.
Klasterisasi hukum dimaksudkan terhadap pihak yang berseberangan dengan pemangku posisi dominan. Demikian itu semakin mengokohkan upaya penegasian syariat Islam. Untuk kepentingan itu eksponen terdepan Islamophobia menjalankan agenda global. Agenda global dimaksud adalah mencegah kebangkitan Islam. Tegasnya memutus peta jalan sistem pemerintahan yang dicontohkan oleh Khulafaur Rasyidin. Tidaklah heran, jika Islam selalu digambarkan sebagai ancaman lipat tiga: ancaman politik, ancaman peradaban, dan ancaman demografi. Kemudian memberikan stereotip yang menggeneralisasi seperti, “Islam fanatik,” “Islam militan,” “Islam fundamentalis,” “Islam teroris” dan seterusnya.
Fukuyama dan Huntington pernah meramalkan Islam akan menjadi musuh bebuyutan Barat. Terlepas asumsi tersebut diterima atau tidak, namun yang jelas ada ketakutan (fobia) terhadap kebangkitan Islam kelak di akhir zaman. Kekhalifahan Islam di bawah komando Imam Mahdi akan menghancurkan kaum kafir dan zionis Israel. Dajjal akan dieksekusi oleh Nabi Isa as.