Jendela Fajar Mengulang Kajian Perbuatan Curang

Editor: Ahmad Muntaha AM

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
اَوْفُوا الْـكَيْلَ وَلَا تَكُوْنُوْا مِنَ الْمُخْسِرِيْنَ  وَزِنُوْا بِا لْقِسْطَا سِ الْمُسْتَقِيْمِ  وَلَا تَبْخَسُوا النَّا سَ اَشْيَآءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَ رْضِ مُفْسِدِيْنَ
Artinya : “Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu merugikan orang lain; dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Dan janganlah kamu merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah membuat kerusakan di bumi”. (QS. Asy-Syu’ara’ 26: 181-183)
*Petugas Pemilu yang Curang, Menurut Islam: Berdosa Besar, sebagai Orang Fasik yang Persaksiannya Ditolak*
 مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
 “Barangsiapa yang mencurangi kami maka bukan dari golongan kami”. ( HR. Muslim, kitab Al-Iman ).
 Mayoritas Ulama Rabbaniyin berpendapat bahwa menipu atau berbuat kecurangan adalah dosa besar. Sebagian ulama menilai orang yang menipu atau berbuat curang, culas, dan tidak jujur sebagai orang fasik yang persaksiannya ditolak. ( Kementrian Waqaf, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Darus Salasil: 1427 H], juz XXXI halaman 219-220).
Curang berarti tidak jujur, tidak lurus hati. Terbiasa mencurangi adalah terbiasa penipu atau mengakali. Sedangkan menipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur, berbohong, janji palsu, yang lebih dikaitkan dengan perkataan dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali atau mencari  keuntungan.
Seorang pedagang yang jujur, transparan terhadap barang yang ditawarkan, tidak menaikkan harga terlalu tinggi kepada pihak pembeli, maka seseorang tersebut akan mendapatkan keberkahan hidup dan derajat yang tinggi di dunia dan di akhirat.
Kecurangan dalam hal jual beli tidak sedikit ditemui ditengah masyarakat. Pedagang memperlihatkan barang bagus dan menyembunyikan barang yang cacat saat bertransaksi. Hal ini tentu dapat mendatangkan mudharat bagi pembeli dari barang dijual yang berbeda kualitasnya.
Sesungguhnya perbuatan curang dan khianat adalah fenomena negatif dalam perdagangan yang banyak menghinggapi perilaku masyarakat. Hingga bagi sebagian orang perbuatan curang telah menjadi kebiasaan yang seolah bukan lagi dianggap perbuatan dosa.
Perbuatan curang tidak hanya terjadi dalam berdagang, kecurangan terjadi dibanyak tempat dan dalam bentuk yang beragam, seperti, berdagang suara rakyat, mempecundangi suara rakyat, jual beli jabatan, suap menyuap bahkan membangun opini menyesatkan rakyat.
Dari Ma’qil bin Yasar al Muzani ra, “Aku mendengar Rasululloh ﷺ bersabda:
ما من عبد يسترعيه الله رعية يموت يوم يموت وهو غاش لرعيته إلا حرم الله عليه الجنة
Artinya : “Tidaklah seorang hamba yang Alloh berikan kepemimpinan atas orang lain, lalu ia mati dalam keadaan berbuat curang terhadap orang-orang yang dipimpinnya, melainkan Alloh akan mengharamkan atasnya surga”. (HR Muslim).
Kemimpinan, jabatan dan kedudukan sering kali disalahgunakan untuk mencurangi orang-orang yang berada dalam kepemimpinannya. Rasa takut kepada Alloh seakan telah tercerabut, yang ada hanya bagaimana dapat mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara.
Alloh ﷻ berfirman :
إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya : Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS. Ali Imrân 3 : 175)
Mereka menyadari telah melakukan kecurangan, menipu, menfitnah dengan meninggalkan perintah agama, meremehkan ajaran-ajaran agama dan bahkan seenaknya melecehkan ajaran agama karena tercerabutnya rasa takut kepada Yang Maha Mengetahui, Alloh ﷻ.
Sesungguhnya hanya takut kepada Alloh ﷻ menumbuhkan keikhlasan serta kejujuran, takut melakukan kecurangan karena ada Alloh yang selalu mengawasinya. Ia sepenuhnya mendedikasikan diri kepada Alloh dengan memahami tiada kekuatan lain selain kekuatan Alloh ﷻ.
Alloh ﷻ berfirman:
فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا
Artinya : Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.  (QS. Al-Mâidah 5: 44)
Seorang hamba yang takut kepada Alloh ﷻ menyadari bahwa teman sejatinya di dunia dan di akhirat hanyalah ALLOH ﷻ. Karena itulah, keridhan-Nya membuatnya takut berbuat curang, takut menyebar finah, takut setiap sesuatu yang menyalahi perintah ALLOH ﷻ dan Rasul-Nya.
Takutlah dengan rasa penuh khawatir apabila ada perbuatan buruk, rasa khawatir Alloh ﷻ tidak menerima amalan shalih. Dengan rasa takut ini, jiwa akan terhalau dari hal-hal yang diharamkan dan bergegas melakukan kebaikan.
Alloh mengabarkan bahwa orang yang takut kepada-Nya, akan diselamatkan dari hal-hal yang tidak dia sukai, diberi kecukupan dan diberi akhir yang bagus.
Firman ALLOH ﷻ:
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ ﴿٤٦﴾ فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ ﴿٤٧﴾ ذَوَاتَا أَفْنَانٍ
Artinya : Orang yang takut pada Alloh akan mendapatkan dua surga. Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu dustakan? Kedua syurga itu mempunyai pohon-pohonan dan buah-buahan.  (QS. Ar-Rahmân 55:46-48)
Semoga Alloh ﷻ menjadikan kita hamba-hamba yang takut berbuat curang, berkhianat atas janji kepada-Nya, sehingga dengan itu kita senantiasa patuh akan segala perintahnya dan takut melanggar segala larangannya.
Ingatlah Meminta jabatan dilarang oleh Rasululloh ﷺ, pernah terjadi Sahabat Rasululloh ﷺ yg bernama Samurah meminta jabatan sebagai Gubernur Mesir. Rasululloh mengatakan kpd Sahabat tersebut Kamu tidak kuat Samurah. Apalagi mendapatkan Jabatan dengan cara menyogok/membeli, maka Gaji yg diterima dengan uang jabatan, Uang-uang lain yg diterima Ikut menjadi Haram. Di jaman Reformasi ini dari Kabupaten/kota, Provinsi sampai pusat banyak yg membeli Jabatan, innalilahi Roojiuun, semoga menjadi Ibroh/Pelajaran. Barokallohu fiikum.
*SEMOGA BERMANFAAT*
Hasbunalloh Wani’mal Wakil Ni’mal Maula Wani’man Natsir
Selesai ditulis:
JUM’AT 06 SYA’BAN 1445/16 FEBRUARI  2024
******
*Peringatan bagi Petugas Pemilu yang Curang dalam Syariat Islam*
✍🏻 Oleh: *Ustadz Dr. Muhamad Hanif Rahman, Lc,. M.Ag* حفظه اللّٰه تعالى
Bangsa Indonesia sudah mengadakan pesta demokrasi pemilihan umum serentak pada 14 Februari 2024. Calon yang akan dipilih nantinya adalah calon presiden dan wakil presiden, calon DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/kota, dan dan calon DPD RI.
Lewat Pemilu ini diharapkan akan terpilih sosok-sosok pemimpin terbaik bangsa yang akan membawa kemajuan bangsa Indonesia. Untuk mewujudkannya, bangsa Indonesia mempunyai pedoman dasar pemilihan umum yang disebut dengan asas pemilu yakni Luber-Jurdil (Langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil).
Keutuhan dan keamanan bangsa dalam proses pemilu lima tahunan harus lebih diprioritaskan dan dijaga oleh semua anak bangsa tanpa terkecuali. Sebab itu netralitas, kejujuran, dan trasparansi pihak penyelanggara adalah sebuah keniscayaan.
Jika pemilu dilaksanakan secara jujur, adil, dan trasparan, tentu pihak yang kalah dalam kontestasi akan menerimanya dengan legowo. Berbeda jika ada kecurangan atau ada potensi kecurangan, ini akan menjadikan keadaan bangsa menjadi tidak kondusif.
Sebagai penyelenggara pemilu; KPU (Komisi Pemilihan Umum) sampai tingkat paling bawah, KPPS (kelompok Penyelengara Pemungutan Suara); Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) sampai tingkatan terbawah, PTPS (Pengawas Tempat Pemungutan Suara), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) harus menjaga netralitas, bekerja sesuai regulasi yang telah ditetapkan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran.
Ketidakjujuran atau kecurangan akan berdampak buruk untuk bangsa. Selain itu, kecurangan dilarang agama dan haram hukumnya. Dalam Islam kecurangan atau ghassu (غش) difahami sebagai tindakan atau perilaku yang melanggar prinsip-prinsip kejujuran, keadilan, dan transparansi. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Huhairah Radhiyallohu anhum dijelaskan:
أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَل يَدَهُ فِيهَا، فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً، فَقَال: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟ قَال: أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُول اللَّهِ، قَال: أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنِّي. وَفِي حَدِيثٍ آخَرَ: مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
Artinya: “Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, kemudian beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasululloh”.
Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di atas makanan agar orang dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golonganku. Dalam hadits lain disebutkan: “Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami”. (HR. Muslim).
Sekilas hadits di atas konteksnya adalah jual beli, namun pemahamannya adalah dalam segala hal. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah dijelaskan:
اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الْغِشَّ حَرَامٌ سَوَاءٌ أَكَانَ بِالْقَوْل أَمْ بِالْفِعْل، وَسَوَاءٌ أَكَانَ بِكِتْمَانِ الْعَيْبِ فِي الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ أَوِ الثَّمَنِ أَمْ بِالْكَذِبِ وَالْخَدِيعَةِ، وَسَوَاءٌ أَكَانَ فِي الْمُعَامَلاَتِ أَمْ فِي غَيْرِهَا مِنَ الْمَشُورَةِ وَالنَّصِيحَةِ
Artinya: “Fuqaha’ telah bersepakat bahwa kecurangan adalah haram; baik dengan ucapan ataupun tindakan; baik dengan menyembunyikan cacat pada barang yang dijual atau alat tukarnya, dengan berbohong atau tipuan; baik dalam transaksi atau selainnya seperti dalam musyawarah dan memberi nasihat”.
Terkait dengan makna hadits ‘مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنِّي’ “barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami” , bukan berarti orang yang menipu atau berbuat curang itu kemudian keluar dari Ilam atau kafir.
Al-Khatabi berkata, makna hadits tersebut adalah, “Dia tidak menetapi perilaku dan jalan yang kami (Nabi Muhammad) ajarkan”.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa menipu atau berbuat kecurangan adalah dosa besar. Sebagian ulama menilai orang yang menipu atau berbuat curang, culas, dan tidak jujur sebagai orang fasik yang persaksiannya ditolak. ( Kementrian Waqaf, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Darus Salasil: 1427 H], juz XXXI halaman 219-220).
Demikian tadi adalah ancaman bagi siapa saja yang berperilaku melanggar prinsip-prinsip kejujuran, keadilan, dan transparansi. Menipu, memanipulasi atau membuat kecurangan adalah perbuatan haram, pelakunya mendapatkan dosa besar, dinyatakan sebagai orang fasik, dan melanggar ajaran Nabi Muhammad ﷺ.
Terakhir,  kecurangan dalam pemilu akan mencederai demokrasi, menghalangi lahirnya pemimpin-pemimpin yang terbaik untuk bangsa Indonesia, dan berpotensi mengancam keamananan dan kondusivitas bangsa. Wallohu’ a’lam bisshawab.
*Ustadz Muhamad Hanif Rahman, khadim Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo Jawa Tengah*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *