Majalengka. penanews.net _ Jawa Barat. Ketua Aliansi Wartawan Indonesia (AWI) DPD Provinsi Jawa Barat, Aceng Syamsul Hadie, S.Sos., M.M., menanggapi kasus yang menimpa jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi (Pemred) media Jejak Investigasi, Ato Hendrato.
Hendrato, yang juga menjabat sebagai Ketua AWI DPC Kabupaten Majalengka, memenuhi undangan dari Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polres Majalengka untuk klarifikasi terkait pengaduan DK dan ZN terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait dugaan pencemaran nama baik dalam karya jurnalistik Ato Hendarto pada Kamis (06/07/2023).
Menurut mantan anggota DPRD Kabupaten Majalengka tiga periode, Aceng Syamsul Hadie, saat dihubungi melalui pesan Whatsapp pada Jumat (07/07/2023), ada tiga poin penting yang perlu dijelaskan terkait permasalahan di atas:
Pertama, permasalahan awal adalah karena ada pemberitaan yang dibuat oleh Ato Hendarto tentang pernikahan terlarang yang dilakukan oleh oknum adiknya yang merupakan anggota DPR RI dari Fraksi PKS.
Kenapa ditulis pernikahan terlarang? Karena ada peristiwa ijab qobul dan pelaku wanitanya masih berstatus memiliki suami yang sah.
Jadi itu bukan zinah, tapi pernikahan terlarang, karena jika zinah, tidak ada prosesi ijab qobul. Yang terjadi adalah ijab qobul dan yang menikahkannya bukan petugas pemerintah, melainkan orang yang diduga sebagai pengurus Persatuan Ummat Islam (PUI).
Perlu diketahui bahwa anggota DPR RI yang dimaksud di atas juga menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Ummat Islam (PUI).
Mereka diduga merasa dicemarkan nama keluarga besarnya, bahkan nama baik Partai dan organisasi PUI yang mereka wakili.
Kedua, menanggapi undangan klarifikasi wartawan yang dianggap mencemarkan nama baik, atau jika saya katakan, itu pasal-pasal karet.
Pasal 27 dan 28 UU ITE haruslah dipahami terlebih dahulu oleh pengacara dari pihak Zaim N. dan Deni Koharudin, terutama dalam konteks UU ITE dan UU Pers. Ditambah lagi dengan Surat Keputusan bersama antara Menteri Kominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri, yaitu Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Implementasi UU ITE.
Di dalamnya dijelaskan bahwa karya jurnalis yang terdapat di media perusahaan pers tidak dapat dipidanakan dan harus kembali kepada UU Pers No. 40 Tahun 1999, yang mengatur mekanisme hak jawab dan hak tolak yang dapat dimuat dalam berita berikutnya.
Ketiga, surat somasi yang dibuat oleh pengacara Deni K. dan Zaim N. harus dipersoalkan, karena secara tidak langsung, hal tersebut merupakan bentuk teror dan intimidasi terhadap wartawan.
“Hal tersebut merupakan bagian dari menghalangi tugas wartawan dan merupakan tindak pidana. Hal ini sesuai dengan Pasal 18 Ayat 1 UU Pers No. 40 Tahun 1999, yang mengatur tindakan yang menghambat atau menghalangi kegiatan jurnalistik. Pelanggaran ketentuan Pasal 4 Ayat (2) dan Ayat (3) dapat dikenai pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun atau denda maksimal Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah),” pungkas Pria yang akrab dipanggil Ayah.
Ato Hendrato dalam memenuhi undangan tersebut di atas, didampingi oleh tim kuasa hukum dari Hams Law Firm, yaitu Sunoko, SH., Feby Martin Mardian, SH., Herin Suherman, SH., dan Hakim Riyadi Noor ST, SH., serta perwakilan tim pengacara dari AWI DPD Provinsi Jawa Barat, Lela Sri Nurlaela, SH., MH. Acara juga dihadiri oleh puluhan rekan wartawan yang tergabung dalam organisasi profesi Aliansi Wartawan Indonesia (AWI).