Jakarta, penanews.net || Bertepatan dengan peringatan Hari Tani Nasional ke-65, warga Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, kembali menyuarakan persoalan konflik agraria dengan TNI AU Cq. Lanud Atang Sanjaya (ATS). Mereka mengadu ke Badan Aspirasi Masyarakat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (BAM DPR RI) dan diterima dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dipimpin Ketua BAM DPR RI Ahmad Heryawan serta Wakil Ketua BAM DPR RI Adian Yusak Napitupulu di ruang rapat Nusantara II, Gedung DPR RI, Jakarta.
Dalam pertemuan itu, warga yang dipimpin Kepala Desa Sukamulya, Ihwan Nur Arifin, mengeluhkan klaim dan pendaftaran sepihak lahan ke IKN oleh TNI AU Cq. Lanud ATS. Tanah seluas sekitar 1.000 hektare yang didaftarkan menggunakan dua nomor register (50503007 dan 50503008) dinilai hanya berdasar pada Surat Keputusan KSAP tahun 1950 yang bersifat umum, serta peta plotting sepihak seluas 450 hektare atas nama LAPAN.
Menurut Ihwan, akibat klaim tersebut, hak-hak masyarakat Desa Sukamulya atas tanah mereka terganggu. Padahal, warga sudah mendiami dan mengelola tanah itu secara turun-temurun jauh sebelum Indonesia merdeka. Kepemilikan mereka pun diakui secara hukum dengan adanya buku tanah (letter C) sejak era 1960-an, setelah Indonesia memiliki hukum agraria nasional.
Ihwan menegaskan, masyarakat Sukamulya tidak menuntut tanah yang pernah dirampas kolonial Belanda maupun Jepang. Mereka hanya memperjuangkan hak atas lahan yang sejak masa kolonial sudah ditempati sebagai kampung, lahan pertanian, dan kebun terbatas, yang bahkan dulunya sudah dipungut pajak oleh pemerintah Hindia Belanda hingga Republik Indonesia.
Melalui forum RDP ini, Kepala Desa Sukamulya berharap para legislator dapat menyampaikan aspirasi warga sekaligus mencarikan solusi agar hak konstitusional masyarakat Sukamulya terjamin. “Masyarakat hanya ingin mendapatkan kepastian atas tanah, tempat tinggal, serta hak hidup yang layak,” ujarnya.
Senada, Ketua Forum Masyarakat Desa Sukamulya, Junaedi, menambahkan bahwa klaim sepihak TNI AU menghambat pembangunan infrastruktur publik dan perkembangan ekonomi di wilayah mereka. Ia menyebut, personel Lanud ATS kerap melarang warga membangun, bahkan pernah menghentikan pembangunan jalan kabupaten maupun jalan desa.

Meski masyarakat tetap melanjutkan pembangunan karena menolak intervensi, rasa aman dan nyaman mereka terusik, terutama sejak 2019 ketika ATS memasang plang di atas tanah warga. Di sisi lain, proses pengurusan sertifikat kepemilikan tanah di BPN kerap ditolak hanya karena alasan telah di-ploting TNI AU, tanpa dasar hukum yang jelas. Padahal, pada 2012 pernah dilakukan verifikasi bersama antara TNI AU, Pemkab Bogor, BPN, serta masyarakat yang membagi jelas mana lahan milik warga, pemerintah daerah, LAPAN, maupun TNI AU.
Pihak BAM DPR RI sendiri menyatakan akan menindaklanjuti aduan warga Sukamulya dengan komisi terkait, meski kewenangan mereka terbatas. Hal itu disampaikan Adian Napitupulu, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan.
Adian menegaskan, persoalan konflik agraria di Rumpin memang sudah menjadi target penyelesaian sejak dirinya duduk di Komisi II DPR RI. “Rumpin ini sudah jadi target saya sejak beberapa tahun lalu. Kita akan rapat pleno untuk menentukan langkah selanjutnya. Saat ini ada sekitar 700 ribu kasus konflik agraria yang ditangani secara internal, sehingga saya minta data-data lengkap segera disampaikan ke BAM DPR RI untuk ditindaklanjuti,” pungkasnya.





