Manifesto Politik Kaum Paria (Bagian-1)

 

Karya: Ishak Rafick

Jangan kira manifesto politik atau pernyataan sikap politik cuma monopoli kaum intelektual, seniman atau aktivis, dan orang-orang bergengsi itu. Pemulung dan tukang ojek gendong atau mereka yang selama ini tidak dianggap pun bisa bikin manifesto. Yang terpenting adalah memiliki sikap terhadap situasi politik, yang sudah membuat stress dan kepala nyut-nyutan. Itu kata pengamen lintas provinsi Bejo kepada rekannya Purwantoro, Ketua Aktivis Dadakan Poros Ketiga (JAPOK).

“Jangan manas-manasin, lu! ‘Ntar ditahan satpol PP lagi, baru nyaho!” sanggah Toro, sapaan yang melekat bagi Ketua JAPOK itu.

“Ah kuno!. Makanya jangan molor mulu! Ini zaman medsos. Semua orang boleh tampil, bikin berita sendiri, bikin pernyataan sendiri. Bahkan kalau lu jago ngebelain kebijakan yang diprotes banyak orang, atawa nyerang ulama atawa tokoh yang dibenci penguase, kite bisa diangkat jadi BUZZZHER ‘en dapat bayaran lumayan gede,” jelasnya serius sambil membenarkan sarungnya yang melorot dengan logat betawi yang khas.

Mereka kemudian terlibat diskusi intensif tentang manifesto dan rencana aksi. Mereka sama-sama sampai pada kesimpulan bahwa tidak semuanya mesti bersikap negatif. Yang positif menerima nasib pun boleh bikin manifesto. Koeli kontrak dan budak belian pun boleh bikin manifesto negatif, apalagi positif. Misalnya, karena mereka jatuh cinta pada tuannya yang masih mau membayar gajinya. Padahal Si Tuan sebetulnya bisa melaporkan mereka ke Bareskrim agar ditahan atau menembak mati mereka, atau juga memberi vaksin sampai kejang-kejang.

Begitulah manifesto politik itu akhirnya terlaksana pada hari yang telah mereka rencanakan sebelumnya, di Monas. Maka, jadilah itu manifesto politik paling aneh di dunia. Mungkin juga bisa disebut sebagai keajaiban dunia yang ke delapan.

Betapa tidak! Pesertanya cuma 74 orang, berpakaian lusuh dan dekil pula. Mereka datang dari 34 provinsi mewakili Barisan Pemulung Pengangguran Pengemis dan Pengamen Jalanan Seluruh Indonesia (BP4JSI) yang juga dipimpin Toro.

Agar tak tertukar dengan pengemis, pemulung, pengangguran, dan pengamen yang sedang dinas di jalan-jalan Kota Jakarta, Toro menetapkan semacam dress code: “Utusan boleh berpakaian model apa saja”. Bahkan telanjang dada dan telanjang paha pun boleh. Yang dilarang hanya memakai gamis, kerah sanghai, celana cingkrang, dan cadar baik karena alasan kesehatan maupun agama. Apapun pilihannya, kecuali yang dilarang, utusan diwajibkan menempelkan secarik batik di lengan kanan atau jidat.

Tak tampak upaya menarik perhatian publik untuk acara manifesto itu. Padahal mereka telah berada di tengah massa ratusan ribu pejalan kaki, yang sedang asyik berjalan santai memenuhi Jln. Jend Sudirman, seputar Thamrin, Monas, dan Merdeka Barat. Maklum Hari Minggu, 13 oktober 2019, hari bebas kendaraan. Istilah kerennya ‘car free day.’

Mulanya barisan dekil dan lusuh tersebut memang berada di tengah kerumunan massa yang jumlahnya ribuan itu. Mereka melakukan pelbagai atraksi teatrikal menarik. Dua orang bertopeng Semar dan Petruk diarak diatas bande berbentuk lembu merah. Di kiri kanan muka belakang ada 4 orang kerempeng bertelanjang dada dengan ikat kepala hitam bertuliskan NUSANTARA BANGKIT.

Si Semar berkaos oblong putih dengan tulisan AKTIPIS di dada kiri. Dia berdiri di atas punggung lembu sambil melakukan atraksi sulap. Dia menjulurkan lidahnya yang panjang dan merah menjilat besi. Lalu dia memotong lidah itu dengan gunting rumput. Lidah itu terpotong. Darah membasahi kaos putihnya. Potongan lidahnya jatuh kebawah, menggelepar seperi ikan. Penonton sesak nafas. Ibu-ibu menjerit ngeri. Namun Semar tetap tersenyum. Lidahnya tumbuh lagi, terjulur panjang, dan dipotong lagi. Puluhan orang terpaksa duduk di trotoar depan Kantor Kementrian Agama yang berada tak jauh dari sana. Mereka mual dan muntah. Beberapa orang ibu yang menyaksikan turut semaput. Tapi, arak-arakan itu jalan terus dan melaju ke arah Monas.

Seseorang berpakaian adat batak lalu berjalan patah-patah dengan mata mendelik mengelilingi arak-arakan tersebut sambil membawa poster bertuliskan “BUBARKAN PARPOL”. Disusul oleh seorang lelaki berperawakan kecil ringkih membawa poster: “INDONESIA CUKUP 01 PARTAI SAJAH!”.

Gendang ditabuh. Trompet besar ditiup ce ce ceee boong booong preet. Orang-orang berteriak histeris. Riuh suasana.

Semar Petruk diarak berputar di prapatan Bank Syariah Mandiri. Sembilan orang kurus membentuk barisan sambil masing-masing mengangkat poster setinggi dada bertuliskan dari kiri ke kanan: “Membangun Islam Nusantara, Katholik Nusantara, Kristen Nusantara, Hindu Nusantara, Budha Nusantara, Konghucu Nusantara, Komunis nusantara, Liberal nusantara, dan Ganyang radikalisme”.

Sementara di belakang Semar yang masih sibuk memotong lidahnya itu, Petruk berdiri dengan kaos oblong merah kuning bertuliskan MARHAEN FOR CAPITALISM. Di punggungnya ada tulisan yang seperti ditulis tangan dengan menggunakan spidol: TAK BISA JADI JURAGAN, KOELIPUN JADI. Petruk menekuk hidungnya kuat-kuat, tapi hidung itu malah memanjang seperti Pinokio. Penonton terbelalak. Semar menoleh ke belakang. Lalu memotong hidung ‘pinokio’ itu hingga putus. Petruk terjatuh lemas. Para pejalan kaki berhenti melangkah.

Priiiit priiit!

Tiba-tiba terdengar suara sempritan, disusul tiga kali ledakan mercon bantingan. Atraksi dihentikan. Orang-orang yang berpakaian lusuh dan dekil memisahkan diri dari keramaian dengan langkah tergesa. Orang ramai yang lain hanya bisa memandang takjub.

Dari patung kuda mereka belok kanan masuk kawasan Monas. Di belakang pos polisi mereka menempeli jidat atau lengan kanan dengan sobekan batik. Seorang petugas berseragam Polisi mempersilakan mereka masuk di pintu gerbang.

Dengan langkah pasti mereka menuju gundukan berumput hijau, yang dikelilingi pohon jati. Soal perawakan tubuh, jangan tanya. Hampir semuanya tampak kurang gizi dan susah.

Namun tak tampak keberatan ataupun protes di wajah mereka atas nasib buruk di alam merdeka. Yan tampak justru semangat, seperti orang-orang yang ingin melakukan suatu yang besar bagi bangsa dan negara. Di tangan mereka masing-masing ada selembar kertas tergulung. Selidik punya selidik, ternyata lembaran itu berisi 5 poin pernyataan, yang diberi judul “MANIFESTO POLITIK MONAS”.

Tak ada yang bertanya kenapa tak dibacakan di bunderan HI, atau di patung kuda, atau di atas mobil komando. Sebab nampaknya, manifesto tersebut telah lama dirancang.

Rasanya pun tak elok membandingkan hajatan mereka, yang konon datang dari 34 provinsi ini, dengan manifesto politik pada 30 April 2004 yang dilakukan tokoh-tokoh besar nasional – dan aliansi parpol gurem yang tak masuk electoral treshold. Tokoh2 yang hadir pada waktu itu antara lain, Adi Sasono, Rahmawati Soekarnoputri, Erros Djarot, Prof. Ryaas Rasyid, Dr. Syahrir, Muchtar Pakpahan dll. Juga tak bisa dibandingkan dengan hajatan serupa, yang dilakukan kaum buruh pada 1 mei 2013 di Tugu Proklamasi. Jauh berbeda.

Yang pertama, ditandatangani oleh para tokoh2 besar nasional dan direstui Ketua Dewan Syuro PKB waktu itu, Abdurrahman Wahid, mantan presiden yg dimakzulkan dan diganti oleh Megawati. Salah satu manifestonya membentuk kepemimpinan nasional alternatif, yang akan mengembalikan kedaulatan kepada rakyat.

Yang kedua merupakan manifesto kaum buruh. Salah satu manifestonya menyatakan tidak akan memilih parpol-parpol, yang menjadi perpanjangan tangan kaum kapitalis. Kedua hajatan besar dan gegap gempita tersebut pun akhirnya terbukti gagal total.

Bahkan pada Pemilu 2019 terbukti bahwa kaum kapitalis nekolim justru menguasai hampir separuh parlemen. Berita Utama Koran Tempo (Rabu, 021019) mencatat dari sekitar 575 anggota DPR, 262 orang merupakan pengusaha atau politisi pebisnis. Jadi 45,5 persen dari anggota dewan 2019 – 2024 adalah politisi pebisnis. Mereka terafiliasi dg 1.016 korporasi.

Kondisi ini spt membenarkan pandangan ILUNI UI, bahwa telah terjadi anomali di parlemen, yaitu Sang Penindas mewakili si tertindas atas restu ketua Parpol, pemerintah, dan DPR. Untung saja politisi pebisnis tersebut tidak membentuk fraksi sendiri. Angka tersebut sekaligus membuktikan bahwa para pengusaha ini sangat piawai bermain di ranah politik seperti Rusdi Kirana dan putranya Davin Kirana, yang ketahuan bermain curang di Malaysia.

Kehadiran para pengusaha ini di ranah politik ini pada gilirannya membuat pemilu dan pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD,, Walikota, Bupati, Gubernur, Presiden, bahkan lurah menjadi mahal. Kesuksesan ditentukan oleh cukong. Akibatnya, para Ketua Parpol berani menyingkirkan kadernya sendiri dan aktivis dari pencalonan dan diganti oleh pengusaha atau anak-anak mereka yang membawa duit banyak. Di sanalah bibit korupsi itu mulai bersemi. Ini pada gilirannya merusak tatanan negara. Juga memuluskan jalan menuju kolaborasi antara pemerintah dan DPR yg dalam politik kenegaraan sebenarnya haram.

Oposisi secara esensial mati terpanggang disana. Oposisi justru diplot menjadi barang haram atas tekanan parpol koalisi, operasi intelijen, dan buzzer. Medmas arus utama, dikuasai pengusaha, berubah menjadi biro iklan dan mesin propaganda. Pengusaha sebagai cukong spt melakukan poligami dg pemerintah, wakil rakyat, aparat hukum dan keamanan, intelijen, buzzer, dan medmas. Si Cukong menjadi suami bagi semua, sekaligus mengendalikan semua. Orang pintar menyebut mereka sebagai OLIGARKI.

Bersambung…

Ishak Rafick

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *