Bandung, penanews.net Jawa Barat- Pada awalnya, membuat sesaji adalah sebuah upaya agar manusia terbebas dari malapetaka.
Manusia sadar bahwa dirinya lemah dalam menghadapi fenomena alam seperti erupsi, gempa bumi, atau tsunami.
Secara naluriah, manusia sadar bahwa di balik laut, gunung, bumi, atau langit, ada dzat adikodrati yang berkuasa.
.
Kemudian manusia mencoba memberikan apa yang dia senangi, seperti ingkung, rokok, serta kopi, kepada sang ghaib. Siapa tau dia suka.
.
Setelah ilmu pengetahuan berkembang, sebagian orang tidak lagi percaya kisah klenik penguasa gunung atau laut. Mereka mempelajari fenomena alam secara empirik.
.
Tapi pengalaman berpuluh tahun menunjukkan bahwa iptek sendiri tak mampu memberi perlindungan sepenuhnya pada keselamatan manusia. Ada wilayah yang tak terjangkau teknologi.
.
Tenyata keterbatasan manusia bukan hanya pada jasmaniah yang lemah menghadapi alam raya. Tetapi juga pada akalnya, yang tak mampu memahami apa yang ada dibalik itu semua.
.
Oleh karenanya, Allah Sang Maha Pencipta memberikan informasi tentang apa-apa yang berada di luar jangkauan akal manusia. Tentang rahasia semesta. Serta bagaimana cara bersikap menghadapi itu semua.
.
Melalui para RasulNya, Allah menunjukkan kepada manusia cara meminta perlindungan kepada Sanga Penguasa yang sesungguhnya.
.
Para Rasul itu diperintahkan memusnahkan berhala-berhala beserta ritual batilnya.
.
Ilmu telah datang. Masa jahiliyah telah pergi.
.
Tapi hari ini, sesaji bukan semata soal memuja demit penjaga bumi. Melainkan soal politis dan ideologi.
.
Ketika ideologi Islam kembali bergeliat menuju kebangkitannya kembali, maka para para agen sekuler itu menjadikan pembelaan terhadap sesaji sebagai isu perlawanan terhadap Islam secara ideologi.
Mereka berharap medapat simpati dari sebagian publik yang masih percaya klenik. Kemudian turut serta dalam barisan penghalang Penegakan Syari’at.
Selamat datang fase sesaji ideologi.
Sumber: © Doni Riw
Jogja 13122
IG @doniriw
t.me/doniriw_channel
#metamorfosa