Bandung, penanews.net Jawa Barat- Di antara khayalan untuk bisa mengecilkan umat Islam oleh kelompok Islamofobia, sekuler, liberalis dan komunis di era Jokowi adalah membubarkan MUI. Mimpi sambil ngelindur dan bicara ngelantur. Berjalan miring terlalu banyak minum. Berkumpul di cafe buzzeria d’amplopia.
Berkhayal sukses untuk membubarkan kelompok radikal, kadrun, dan perongrong negara. Para Kyai intoleran dan tukang kritik yang dianggap buta atas kemajuan dan kehebatan negara di bawah kepemimpinan Presiden jenius produk dari suara kardus. Bahagia bahwa MUI telah dihancurkan oleh akal bulus ditambah dukungan fulus.
Mimpi tinggal mimpi, MUI bukan FPI atau HTI yang menjadi organisasi keagamaan yang dianggap tidak berdampak atas pembubarannya. MUI itu merepresentasi hampir semua organisasi kemasyarakatan Islam, ulama serta cendekiawan. Pembubaran dipastikan berimplikasi luas.
Implikasi pembubaran yang patut diperhitungkan dan menjadi kesulitan kelompok yang berkumpul di cafe buzzeria d’amplopia, yaitu :
Pertama, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat adalah KH Ma’ruf Amin yang tidak lain merupakan Wakil Presiden RI. Tokoh NU yang berpengaruh. Demikian juga dengan Ketua Umum MUI KH Miftachul Akhyar adalah tokoh NU pula.
Kedua, membubarkan MUI sama saja dengan keharusan untuk membubarkan wadah serupa dari agama lain seperti DGI, MAWI, PHDP, dan Walubi. MUI sebagai wadah umat mayoritas saja dapat dibubarkan apalagi yang lain. Akan terjadi kekacauan atas eksistensi keberagamaan beserta kelembagaannya.
Ketiga, MUI sebagai wadah yang merepresentasi berbagai ormas Islam memiliki Jalinan akar rumput yang kuat, karenanya reaksi besar dari potensi kekuatan Islam tidak akan terhindarkan. Gelombang besar aksi menjadi suatu keniscayaan.
Keempat, kewenangan Pemerintah untuk membubarkan juga tidak ada. MUI bukan organ Pemerintah. Dibentuk berdasarkan musyawarah Ulama, Zu’ama, dan Cendekiawan Muslim dari unsur NU, Muhammadiyah, SI, Perti, Al Washliyah, MA, MDI, GUPPI, PTDI, Al Ittihadiyah, utusan kerohanian AD, AU, AL, Polri serta tokoh perseorangan pada tanggal 26 Juli 1975.
Kelima, MUI bukan badan, lembaga, komisi negara yang “dibentuk dengan undang-undang atau oleh Pemerintah atas perintah undang-undang” sebagaimana diatur dalam UU No 11 tahun 2012. Tetapi Fatwa MUI telah menjadi sandaran untuk berbagai lembaga keuangan syariah termasuk Dewan Syari’ah Nasional. Begitu juga dahulu, Sertifikasi Halal. Pembubaran akan berdampak pada produk hukum.
Sebagai “Quasi Autonomous Non Governmental Organization (quANGO)” maka tidaklah mudah untuk membubarkan MUI. Karenanya dengan alasan ada anggota pengurus yang ditangkap dengan tuduhan terorisme, maka tidak bisa menjadi dasar untuk pembubaran. Isu dan desakan itu adalah mimpi-mimpi dari para pembenci Islam yang mengira tidak akan mendapat perlawanan. Mimpi lagi.
Bila Pemerintah berani membubarkan MUI dengan berbagai alasan buatan, bukan mimpi lagi jika ternyata Pemerintah kini yang justru dibubarkan oleh umat Islam.
Semoga isu terorisme bukan bagian dari rekayasa yang terkait dengan keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
*) Pemerhati Politik dan Keagamaan
Bandung, 20 Nopember 2021
by M Rizal Fadillah