Oleh: Nazar EL Mahfudzi
Untuk memahami musibah dan bencana ada sebuah riwayat yang ditulis *Imam Ar-Razi dalam tafsir Surah Al-Fatihah*
Pada suatu ketika Nabi Musa As, merasakan sakit di perutnya. Beliau mengadu kepada Allah SWT yang kemudian menyuruhnya mengambil sejenis daun di padang pasir. Nabi Musa As mengunyahnya dalam sekejap saja sembuh dengan izin Allah.
Pada esok harinya Nabi Musa mengalami masalah lagi dengan perutnya, maka Nabi Musa As langsung mengunyah kembali dedaunan itu, namun sakitnya malah bertambah nyeri. Beliau mengadu:
*’’Ya Rabb, waktu kali pertama aku makan, aku langsung sembuh. Tapi, kali kedua tidak hanya nggak sembuh, tapi malah bertambah parah*
Allah menjawab:
*’’Kali pertama kamu datang mengadu kepada-Ku memohon kesembuhan. Tapi, pada kali kedua kamu langsung saja mengunyahnya tanpa meminta petunjuk dan izin dari-Ku. Tidakkah kamu tahu bahwa dunia ini semuanya adalah racun dan penawarnya hanyalah dengan menyebut nama-Ku?”*
Dari tindakan di atas menunjukan bahwa setiap tindakan dan logika manusia memerlukan hubungan transendental untuk berdoa kepada Allah.
*Pada abad ke-14. Ada seorang ilmuwan bernama Ibn al-Khatib (1313-1375)*–seorang ilmuwan dan penasihat Sultan Muhammad ke-5 di masa pemerintahan Islam di Granada,
memperkenalkan Teori Contagion.Akhinafillah,.
*Apa itu teori Contagion ?*
mengemukakan bahwa *”terjadinya penyakit diperlukan adanya kontak antara satu orang dengan yang lain karena penyakit menular yang terjadi pada waktu tertentu”*
Contagion theory bermula dari sebuah wabah yang bernama *Black Death* masuk wilayah Eropa, hingga Andalusia di abad ke-14, terjadi perpecahan pendapat dalam menyembuhkan penyakit :
*Pertama* kepasrahan kepada Allah dalam menyikapi wabah penyakit menular.
*Kedua* penyakit harus dibuktikan melalui data, penelitian, renungan, dan penglihatan secara mendalam.
Perdebatan pemikiran yang saling berseberangan berlandaskan pada postulat agama dan menjelaskan segala hal dari sudut pandang teologi atau pun fiqih dan corak pemikiran yang juga terbuka kepada kajian empirik.
Hal ini juga dialami pada akhir 17 Hijriah juga terjadi kepanikan massal saat itu Sayidina Umar bin Khatab Ra dan pasukannya disarankan untuk berbalik.
Namun, salah seorang sahabat mengatakan;
*”Apakah engkau wahai Umar Ra, sebagai pemimpin lari dari takdir Allah?”*
Umar Ra, menanggapi bahwa dirinya dan pasukannya lari dari takdir Allah yang satu (buruk) ke takdir Allah yang lain (baik).
Seketika, sahabat Abdurrahman bin ‘Auf memperkuat Khalifah Umar mengenai sabda
Nabi Muhammad SAW yang pernah mengatakan:
*“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian-kalian di dalamnya, maka janganlah kalian lari keluar dari negeri itu.”*
(Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari dan Muslim).
Pada akhirnya wabah tersebut berhenti ketika sahabat Amr bin Ash ra memimpin Syam.
Dengan izin Allah SWT dan kecerdasannya, Amr mampu menyelamatkan Syam dari wabah. Amr bin Ash berkata:
*“Wahai sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Maka hendaklah berlindung dari penyakit ini ke bukit-bukit!”*
Saat itu seluruh warga mengikuti anjurannya. Amr bin Ash dan para pengungsi terus bertahan di dataran-dataran tinggi *hingga sebaran wabah Amawas* mereda dan hilang sama sekali.
*”Orang beriman menyikapinya dengan: tetap ikhtiyar, langkah antisipiasi, mencari obat, bersabar, mengharap balasan dari Allah dan yakin bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi di luar kuasa dan taqdir Allah,”* (Ubdul Somad)
Doa lebih utama untuk menjaga kesehatan, Namun Doa haruslah memiliki keilmuan dalam menjaga kesehatan, ikuti terus protokol kesehatan.
Nazar El Mahfudzi