Pancasila Yang Multi Tafsir

Nunu A Hamijaya

Bandung penanews.net Jawa Barat- Bersamaan dengan Hari Kemerdekaan/Proklamasi 17 Agustus 2022, ada KADO ISTIMEWA bagi kalangan NKRI, sebab di media, viral mengekspos tentang berterimanya sosok ABU BAKAR BAASYIR terhadap PANCASILA,yang selama hidupnya hingga terakhir di penjara, adalah tokoh islam paling keukeuh peteukeuh menolak (HARAM) terhadap idelogi,falsafah, dan tafsir PANCASILA. Namun, diakhir hayatnya – setelah keluar dari penjara (2022), husnul hotimah, menurut versi NKRI dan ‘suul hotimah ‘ menurut versi para mujahid/pegiat islam fundamentalis.

Abu Bakar Ba’asyir, mengikuti prosesi upacara bendera 17 Agustus 2022 dalam peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-77 Republik Indonesia di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (17/8/2022). Pelaksanaan upacara bendera 17 Agustus tersebut merupakan yang pertama kali sejak Ponpes Al Mukmin berdiri 10 Maret 1972 silam.

DALAM buku “Ummat Islam Menghadapi: Konstituante” (1954: 21-24) ada ulasan menarik mengenai pidato Mohammad Natsir dalam Peringatan Nuzulul Qur`an dengan judul “Dalam Pangkuan Al Qur`an Pantjasila Hidup Subur.”, M. Natsir sampai pada kesimpulan bahwa Pancasila bukan saja tidak bertentangan dengan al-Quran, justru membuat narasi dan nilainya semakin subur dan makmur. Akan terasa aneh dan a-historis jika ada yang mencoba membenturkannya.

Akan tetapi, M. Natsir menyatakan pula bahwa “Pancasila memang mengandung tujuan-tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukan berarti Islam” kata Natsir. Bukan berarti Pancasila sudah mewakili seluruh ajaran Islam, ia hanya sebagian kecil dari sekian banyak ajaran Islam. Sejak dihapuskannya tujuh kata dalam sila pertama, Pancasila telah kehilangan ruh Islamnya, disebabkan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya telah diganti. Dan Pancasila dengan konsepnya seperti sekarang telah mengakar kuat.

Pemikiran ini dijadikan pegangan bagi para pemimpin pelanjut M. Natsir di kalangah Masyumi maupun Dewan Da’wah Islamiyyah Indonesia (DDII) dalam sikap nya terhadap Pancasila.

Perbedaan Tafsir Dwitunggal Soekarno-Hatta

Dalam gagasan BUNG KARNO, “penggali” Pancasila sendiri, sebagaimana dikutip Kepala BPIP Yudi Latif (Negara Paripurna, 2011:17-18), eksplisit terbaca bahwa urutan sila-sila Pancasila bukanlah hal yang prinsipil; itu urutan sekuensial, bukan urutan prioritas. Dalam rumusan awal Sukarno, sila pertama adalah kebangsaan, sedangkan sila ketuhanan (“yang berkebudayaan”) ada di urutan kelima.

Di sisi sebaliknya, dalam cara pandang hierarkis-piramidal, urutan penting. Dalam cara pandang ini, sila pertama berperan meliputi-merembesi semua sila, sementara sila-sila di bawahnya bukan meliputi, melainkan disinari, oleh sila di atasnya. Jadi, misalnya, sila kedua disinari sila pertama, dan meliputi sila ketiga, keempat, dan kelima. Sila ketiga disinari sila pertama dan kedua, dan meliputi sila keempat dan kelima. Begitu seterusnya. Cara pandang h ierarkis-piramidal menentukan mana sila yang dipandang lebih mendasar atau fundamental dibanding sila yang lain.

Mengenai pentingnya urutan ini, BUNG HATTA berpandangan bahwa, dengan menempatkan Ketuhanan YME pada sila pertama, negara memiliki “landasan moral yang kukuh” dan di bawah bimbingan sila pertama itu, “kelima sila itu ikat-mengikat”. (Hatta, Pengertian Pancasila, Idayu Press, 1977: 18-19, dikutip dalam Laporan h. 18)

Mendudukan pokok utama, misalnya dalam sila pertama tentang KETUHANAN YANG MASA ESA, diklaim oleh kalangan elit pimpinan ISLAM sebagai TAUHID namun tidak tuntas sebab men-SYARAT-kan adanya KEIMANAN terhadap RISALAH-NUBUWWAH MUHAMMAD, yang harus menjadi ‘role model’ ber-NEGARA-nya,yaitu Madinah dan Kekhilfahan
era Abu Bakar dan Umar bn Khatab sebagai era kekhiafaan Islam yang sesuai dengan petunjuk Nabi SAW. Jadi, bagi umat islam kaffah, TAUHID berarti keyakinan terhadap ALLOH dan ROSUL MUHAMMAD SAW. Tentu saja, ini TIDAK AKAN DIAKUI oleh kalangan KRISTIANI yang menolak kenabian Muhammad.

APAKAH PANCASILA ANTI KOMUNIS-MARXISME?

SUKARNO adalah orang yang gandrung dengan MARXISME; ia kerap sekali mengutip para intelektual Marxis dalam penjelasannya mengenai Pancasila (khususnya sila kelima); bahkan bisa dibilang bahwa embrio gagasan perumusan Pancasila ialah dari kehendak untuk menyatukan gerakan nasionalis, Islam, dan Marxis (bukan sekadar “sosialisme”).

Dalam pernyataan ROESLAN ABDULGANI, tokoh PNI dan jubir Sukarno waktu itu,

“Pancasila adalah sebuah sintesis gagasan-gagasan Islam modern, Marxisme, dan demokrasi asli seperti dijumpai di desa-desa dalam komunalisme penduduk” (dikutip dalam Laporan h. 4). Namun paham komunisme/Marxisme-Leninisme kemudian dilarang oleh rezim Orde Baru. Di sini, pertanyaannya ialah, dalam hubungan Pancasila dengan Marxisme, mana yang benar: Sukarno atau Orde Baru? Dalam kasus ini, susah untuk mengesampingkan tesis bahwa apa yang disebut benar secara diskursif-ideologis berkaitan erat dengan relasi kekuasaan, bukan semata netral-objektif di dalam dirinya sendiri.

DEMOKRASI ALA PANCASILA

Demokrasi ala Pancasila sebagaimana dipraktekkan oleh penggalinya sendiri menghasilkan DEMOKRASI TERPIMPIN dengan kekuasaan yang terpusat di tangan presiden, atau simpelnya: otoritarianisme. Orde Baru, yang sebagian besar struktur politiknya mewarisi Demokrasi Terpimpin, juga mendaku dirinya sebagai “DEMOKRASI PANCASILA”. Andai Sukarno hidup kini, saya duga keras, sistem multipartai yang kita miliki sekarang ini tidak sebangun dengan demokrasi ala Pancasila yang ia imajinasikan.

Ketika Sukarno membubarkan KONSTITUANTE dan meluncurkan Demokrasi Terpimpin, BUNG HATTA mengecamnya dan mengatakan,

“Dua kali dalam waktu singkat ia berbuat bertentangan dengan Pancasila. Orang yang menggali Pancasila menguburkan sendiri galiannya itu” (Hatta, Menuju Negara Hukum, Idayu Press, 1977: 16, dikutip dalam Laporan h. 13). Di sini, pertanyaan yang sama lagi-lagi muncul—mana demokrasi yang Pancasilais: menurut Bung Karno, Bung Hatta, Orde Baru, atau pasca-Reformasi?

PRESIDEN SBY DAN GUS DUR TENTANG PANCASILA

“Tidak sepatutnya kita memperdebatkan kembali Pancasila sebagai dasar negara. Ini penting karena MPR RI pada 1998 melalui Ketetapan MPR nomor 18/MPR/1998 maka Pancasila telah ditetapkan sebagai dasar negara. Mari kita patrikan dan mari kita hentikan debat tentang Pancasila sebagai dasar negara, karena itu kontra produktif dan ahistoris,”

“Tanpa Pancasila, negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asa dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia dikebiri oleh Angkatan Bersenjata atau dimanipulasi umat Islam.” (Gus Dur, dalam GUS DUR dan Negara Pancasila).

PANCASILA : DALAM KAJIAN ILMIAH

Di Era Jokowi ada pernyataan bahwa “monolitisisme tafsir Pancasila oleh kekuasaan” telah berlalu, digantikan dengan otoritas ilmiah. Maka, konsekuensinya adalah ia bersedia menerima sifat-sifat utama ilmu: keterbukaan pada kritik, pengakuan akan kemungkinan kekeliruan, dan kesediaan untuk berubah jika ditemukan tesis-tesis baru yang lebih meyakinkan—ini berlaku baik dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial-humaniora.

Pancasila akan hilang nilai keilmiahannya jika ia dijadikan sebagai doktrin yang antikritik dan berperan sebagai “penutup percakapan”, misalnya dengan menjadikannya alat untuk membubarkan suatu organisasi tanpa melalui proses deliberasi dan ajudikasi di ruang pengadilan

ISLAM ATAU PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA

Dalam sidang Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), KI BAGUS HADIKUSUMO ( Ketua Muhammdiyah) mengajukan konsep tentang “membangun negara di atas dasar ajaran Islam”. Menurutnya, pertama, Islam itu cakap dan cukup serta pantas dan patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara Indonesia ini. Dan kedua, umat Islam adalah umat yang mempunyai cita-cita luhur dan mulia sejak dahulu hingga masa yang akan datang, yaitu di mana ada kemungkinan dan kesempatan pastilah umat Islam akan membangun negara atau menyusun masyarakat yang berdasarkan atas hukum Allah dan agama Islam (Syaifullah: 1997, 101-102).

Ki Bagus mengatakan, ”Saya berlindung kepada Allah dari setan yang merusak. Tuan-tuan, dengan pendek sudah kerapkali diterangkan di sini, bahwa Islam itu mengandung ideologi negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam. Jadi saya menyetujui usul Tuan Abdul Kahar Muzakkir tadi. Kalau ideologi Islam tidak diterima, tidak diterima! Jadi nyata negara ini tidak berdiri di atas Islam dan negara akan netral,” tegasnya.

Ki Bagus Hadikusumo menyatakan: “Saya menyatakan bahwa saya tidak mupakat dengan adanya artikel 28 bab 10 tentang hal agama. Dan saya tidak mupakat dengan preambul yang berbunyi ’berdasar ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluknya.”

KHULASHOH

Melihat sejarah panjang perumusan dan penafsiran Pancasila yang senantiasa berubah, bahkan pernah menjadi alat represi penguasa, pernyataan Pancasila adalah harga mati adalah sesuatu yang bertentangan dengan sejarah selain juga membingungkan. Karena harga mati menurut siapa ? Sejarah sudah memperlihatkan beragam rumusan dan penafsiran, sehingga ia bukan sesuatu yang sakral. Mereka yang ngotot ingin mengembalikan Pancasila sebagai asas tunggal patut dicurigai sebagai pihak yang ingin menghidupkan kembali era totalitarianisme dengan kebijakan represifnya, khususnya terhadap umat Islam, yaitu menempatkan umat Islam sebagai ancaman bagi kehidupan berbangsa.

Opsinya tegas ! ISLAM atau PANCASILA : Tidak ada diantara keduanya atau menjadi satu frase ISLAM PANCASILA sebagaimana yang sering diklaim sebagai jargon ORDE BARU hingga saat ini. Seperti menjadi MUSLIM PANCASILA, dan seterusnya. Jadi biarlah soal ABU BAKAR BAASYIR akan menjadi catatan sejarah kelam, sosok pimpinan Islam yang KALAH di akhir hayatnya.

Tjirandjang, 18 Agustus 2022

Red:Al’fakir gusman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *