Pemindahan Ibukota ; Dari Diskusi Publik “Forum Rektor”

Oleh: Ishak Rafick


Sejak Presiden Jokowi minta izin wakil rakyat untuk memindahkan ibukota negara ke kalimantan timur 16 agustus 2019, terjadi keresahan di kampus-kampus, terutama para rektor. Sebagian besar bahkan terkena sembelit alias susah buang air besar.  Sebagian lagi justru diare sampai 17 kali sehari. Ada pula yang ingin menyendiri dan murung sepanjang hari seperti seorang anak ditinggal mati ibunya. Agar keadaan itu tidak berkembang menjadi gangguan psikologis akut, seperti kecemasan, perasaan dikejar-kejar dan depresi, maka beberapa orang mengambil inisiatif bikin pertemuan.

Maka terjadilah pertemuan pada 30 Agustus di sebuah warung tegal super besar di bilangan kota Depok. Meski tak mudah, karena semua rektor mengajukan syarat, pertemuan tersebut bisa jalan.

Ada lima kesepakatan awal yang diajukan para rektor kepada penyelenggara.  Tentu buat aktivis kelima kesepakatan tersebut rada aneh, kalau tak bisa disebut seperti dipenuhi aura ketakutan. Mari kita lihat:

  1. Semua yang hadir harus anonim seperti arisan ibu-ibu erte kertosono dan tukang ojek kampung, yaitu tanpa nama, tanpa titel akademis, tanpa embel-embel jabatan dan status pernikahan.
  2. Semua hadirin harus menggunakan masker seperti penduduk Sumatera dan Kalimantan saat kebakaran hutan.
  3. Tidak membahas tentang impor rektor. Apa pasal? Karena rektor tidak termasuk komoditas ekspor impor. Sama seperti presiden/wapres, menteri-menteri, Direksi BUMN, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah dan Ketua RT/RW.
  4. Pertemuan harus tertutup dan tidak dihadiri media massa seperti rapat panitia seleksi pemilihan pimpinan KPK.
  5. Tidak boleh menggunakan kendaraan pribadi. Gampangnya mesti pakai jasa taksi online: gojek atau grab.

Acara dimulai pkl. 8 malam setelah terdengar rentetan nyanyian ampibi dari danau UI.

Cuma ketika diminta untuk memberi pengantar diskusi, tidak ada satu rektor pun yang bersedia tanpa alasan yang jelas. Agar acara tidak jadi lomba bengong atau saling pandang seperti di lapo tuak, maka mas Pur sebagai ketua panitia mengambil inisiatif. Dia mendatangkan tukang ojek untuk mengantar diskusi tentang pemindahan ibukota negara.  Semua setuju.

Si pembicara Wir Putro, anak seorang tukang warung legendaris dari kantin kampus FSUI Rawamangun. Kantin ini lebih dikenal sbagai bonbin alias kebon binatang. Namun ramainya minta ampun, karena disatroni konsumen dari berbagai fakultas Kampus UI yang ada di Rawamangun. Sangat dinamis dan rada liar, karena kursi meja bisa dipindah sesuka hati.

“Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian saya senang sekali bisa berbicara di tengah bapak-bapak dan ibu yang terhormat. Hitung-hitung nyeramahin orang-orang paling pintar di Indonesyah,” kata Wir Putro membuka pembicaraan sambil tersenyum lebar memamerkan giginya yang ompong di tengah.

“Bapak saya pak Wir dulu tukang warung. Semua mahasiswah kenal bapak dan sangat hormat, karena sering ngutang. Yah, itu biasalah. Namanya juga mahasiswah indekosan. Kiriman sering telat dateng. Bener kagak nih babe-babe yang terhormat,” tambahnya sambil ketawa cekikikan. “Tapi itu sudah hukum alam kan, orang kudu hormat sama yang memberi utang,” imbuhnya mesem-mesem sambil mengedarkan pandangan seperti menghitung merpati.

“Bahkan konon katanya pemberi utang atau kreditor gede, apalagi tingkat internasional, biasa minta segala fasilitas kepada yang berutang dan miskin di negara berkembang, termasuk di negeri +62 ini. Juga bisa minta konsesi hutan,  tambang, proyek infrastruktur sekaligus jadi pemasok semen, baja, dan lain-lain,” tuturnya panjang. Hadirin mulai panas dingin. Dua rektor dari Bandung yang duduk bersebelahan menguap bareng sampai mengeluarkan suara seperti mesin pemerah tebu. Wir Putro kaget dan terdiam sekejap. Tak mau kalah angin. Dia nyerocos lagi.

“Mungkin salah satu dari babe-babe dan nyak-nyak di sini pernah ngutang sama bapak saya. Bapak sekarang sudah koit.  Kalau ada yang belon bayar, saya sebagai anaknya sudah iklas. Kagak usah dibayar dah. Kite kan bukan rentenier” ujarnya setengah becanda.

Para rektor saling pandang. Mas pur tersenyum kecil sambil memasukkan tahu ke mulutnya.

“Coba kalau bapak-bapak dan ibu berurusan dengan rentenier, bisa kapiran.  Mereka ini, baik yang bau apek di desa maupun yang berdasi di kota dan di bank-bank, kagak laki kagak perempuan, kagak sipit kagak kuning, sama saja jahatnya.  Lintah darat smua. Tetangga saya tukang sayur dirampas motornya dijalan.  Padahal cuman kurang satu kali cicilan. Yang berdasi lebih hebat lagi rumah orang bisa disita, perusahaan, kebon, sawah, tambak, mungkin juga jalan tol bisa pindah tangan,” tutur si tukang ojek dekil yang DO semester tiga itu berapi-api.

Beberapa rektor mulai gelisah. Mas pur merasa Wir Putro telalu banyak bacot.  Dia menghampiri putro. Si tukang ojek waspada. “Jangan ngomongin masalah pribadi lu. Ini masalah pemindahan ikot,” bisiknya ditelinga putro.

Si tukang ojek buang ludah di podium. Matanya nanar menatap kedepan, dan ke seantero ruangan.

Tatapannya bersirobok dengan beberapa rektor bermasker yang juga nanar dan mulai berair saking sebelnya, toh si tukang merasa para rektor makin kagum. Dia nyerocos makin kencang. “Ibukota negara itu sama saja dengan ibu kita semua.  Gak boleh sembarangan pindah. Dia harus berada ditengah anak-anaknya yang mencintainya, yang telah berjuang, memberinya rasa aman dan nyaman. Ada ikatan sejarah yang tak pernah putus. Itu kate Kyai. Ibarat warung tempat usahe ye, paling enak warung milik sendiri. Biar jelek, gak perlu bayar sewa. Kalau punya duit lebih, kite bisa bangun warung baru, atawa restoran, atawa pertokoan. Tapi kalau warung lame kita tinggalin, terus kita sewa sama pengembang atau pengusahe swaste yang hebat-hebat itu. Ape jadinye?” paparnya bak srimulat.

“Tapi itulah kate menteri BAPPENAS pak Bambang Brodjonegoro di koran.  Katenya pengusahe swaste yg bangun ibukota dg segale fasilitasnye. Siape lagi kalau bukan si 9 naga itu? Pemerintah tinggal sewa. Kantor-kantor pemerintah sewa. Rumah-rumah pegawai sewa. Rumah-rumah pedagang pasar, warung-warung, tukang ojek, tukang sablon, sopir angkot dan sebagainya, sewa. Same siape? Same konglomerat Agung Podomoro? Sukanto Tanoto? Tommy Winata?  James Ryadi? Sinar Mas? Murdaya Poo? Dan lain-lain?, nyang dulu mau bikin mega proyek 17 pulau reklamasi?” 

“Lho emangnye kite kagak punye duit sendiri buat bikin rumah baru? Sewa same swaste? Ape kite nanti kagak jadi budak atawa kuli seumur hidup seperti pedagan-pedagang nyang pasarnye abis dipugar? Seumur-umur ampe mampus kite kerja keras buat bayar sewa. Kalau kagak dinaikin tiap tahun, kalau dinaikin terus seperti jalan tol?” Katanya berapi-api. Tatapan tukang ojek sok tau itu melotot seperti Nusron Wahid menyapu seluruh ruangan.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh diluar. Beberapa rektor buru-buru keluar. Panitia ikut berhamburan. “Saya kagak paham urusan negara bapak-bapak sekalian dan ibu-ibu yang baik. Yang saya tahu bapak sayah kerja keras sampai koit untuk melunasi cicilan warungnya,” tambahnya sedih.

Namun seluruh isi ruangan sudah kabur keluar. Wir nyap nyap. Dia berlari keluar lewat pintu sebelah mushola. Di luar dilihat ratusan pasukan brimob bersenjata lengkap. Ditengah lapangan parkir dekat tiang bendera beberapa rektor dipaksa berjongkok, termasuk mas pur. “Ini pertemuan tanpa izin. Kalian telah berbuat makar terhadap negara!” terdengar suara lantang.

“Ha maakar,” kata tukang ojek itu keceplosan. Tanpa pikir panjang dia langsung nyebur ke kolam ikan di depannya. Dia tertidur di situ sampai pagi.

Panitia membawanya pulang dengan pick up butut tukang sayur.

Di depan rumah Ramlah bininya sudah menunggu dengan wajah garang. “Mandi sono lu! Kerja kerja kerja. Itu anak si uneh minta diantar ke sekolah!” bentaknya.  Wir putro terkesiap sambil mengusap mata dan badannya yang kuyup. Suara ini amat dikenalnya. Benar saja. Itu bininya. “Sialan, kirain brimob,” katanya sambil ngeloyor ke kamar mandi [IR]

Kampus UI

Depok, 300819

Dari Kumpulan Cerpen Ishak Rafick

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *