“Penerapan Presidential Threshold 20 % Dalam Pemilihan Presiden Tahun 2024”

penanews.net _ Presidential threshold ialah ambang batas suara yang harus di peroleh partai politik dalam suatu penyelenggaraan pemilu untuk bisa mengajukan Calon Presiden dan Wakil Presiden, hal itu di atur dalam pasal 222 Undang – Undang Nomor 7 tahun 2017, tentang Pemilihan Umum.

Di dalam konsepnya, partai politik (parpol) atau gabungan parpol, wajib memiliki syarat minimal perolehan suara atau persentase kursi di DPR, agar bisa mengajukan capres/cawapres. Aturan Presidential Threshold (PT) pertama kali dilaksanakan dalam Pemilu tahun 2004, dalam Pemilihan Presiden pertama yang dilakukan secara langsung di Indonesia.

Saat itu, aturan ambang batas diatur dalam Pasal 5 Ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2003. “Pasangan calon presiden dan wakil presiden, hanya dapat di usulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, yang memperoleh sekurang – kurangnya 15 % jumlah kursi DPR atau 20 % dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.”

Berikutnya, jelang Pemilu 2009, aturan persentase dalam PT kembali diubah, merujuk UU Nomor 42 Tahun 2008. “Pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang – kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.”

Pada Pemilu 2014 lalu, tidak terdapat perubahan terkait aturan ini dan masih menggunakan UU Nomor 42 Tahun 2008. Menurut hasil Pemilu legislatif 2019 yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS), PDIP menjadi partai paling berkuasa di parlemen, usai berhasil 22,26 persen kursi dewan dari total 575 kursi DPR RI.

Hal itu membuat PDIP menjadi satu – satunya partai yang bisa mengusung capres/cawapres untuk Pemilu 2024 tanpa harus berkoalisi dengan partai manapun. Capaian itu juga menjadi keuntungan tersendiri untuk PDIP dalam mencalonkan Capres atau Cawapres dalam Pemilu 2024 mendatang.

Sehingga Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah sekarang diamanahkan menjadi Calon Presiden yang di usung oleh PDIP. Hal itu secara resmi telah di sampaikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri di Istana Batutulis, Bogor, pada hari Jum’at tanggal 21 April 2023.

Hasil survei 18 partai politik yang akan maju di Pileg 2024 terbagi ke dalam tiga golongan, dimana yang pertama ada dari partai besar di atas 10% yaitu PDIP, Golkar dan Gerindra. Yang kedua, partai menengah kategori suara 4 sampai 10%. Diantaranya PKB, Demokrat, PKS dan NasDem. Dan yang terakhir dari partai yang mempunyai elektabilitas cukup kecil dari angka 1% hingga 4% yaitu Perindo, PPP, PAN.

Dengan hasil tersebut, maka partai – partai tersebut (kecuali PDIP) memang diharuskan untuk bergabung, dalam artian partai politik tersebut harus membentuk koalisi gabungan partai politik sehingga bisa mencalonkan capres/cawapres tersebut ke KPU di bulan Oktober tahun ini dan akan dipilih langsung oleh masyarakat pada bulan Februari dalam kontestasi Pilpres 2024.

Maka dengan demikian pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden tentunya di usulkan partai politik atau gabungan dari beberapa partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi di DPR paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi yang ada atau memperoleh 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Aturan tersebut tentu mengekang hak warga negara untuk mencalonkan diri baik secara independen maupun oleh partai yang memperoleh suara pemilih kurang dari 25 persen atau 20 persen dari jumlah kursi.

Ketentuan perundangan ini menjelaskan problem bahkan protes dari berbagai kalangan, seperti dari tokoh elit partai terutama partai politik yang perolehan suara nya di bawah ambang batas PT. Sehingga kemungkinan ikut partisipasi Pilpres sangat tipis, terkecuali dengan cara berkoalisi dengan partai lainnya.

Pakar politik dari Universitas Gajah Mada Dr. Mada Sukmajati, S.I.P, M.P.P menyatakan, pembahasan soal ambang batas Presidential Threshold itu sudah lama berkembang bahkan banyak pihak yang beberapa kali mengajukan Yudisial Review terkait UU No 7 ke Mahkamah Konstitusi.

Namun selalu saja MK menyampaikan jawaban bahwa legal standing terkait hal tersebut berada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Artinya pembahasan hal tersebut akan sangat tergantung pada interaksi di antara fraksi – fraksi partai politik.

Partisipasi politik adalah salah satu pilar bagian demokrasi, tapi putusan MK atau UUD menyatakan bahwa mereka yang akan maju menjadi Capres harus di calonkan partai politik atau gabungan dari beberapa partai. Sehingga kalau ada keinginan mencalonkan diri lewat jalur independen, tentunya harus merubah UU atau amandemen UUD 1945.

Selain itu juga, sosok – sosok alternatif nantinya akan sulit untuk naik walaupun mereka disukai publik. Mungkin ada beberapa orang/figur yang sebetulnya punya potensi maju di Pilpres, namun terkendala dukungan dari Parpol.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *