Tanggapi Kasus Bentrok Rempang, IPW : Mengkonfirmasi Kegagalan Negara Memaknai UUD 1945

Boim / Fahry

Bogor. penanews.net _ Jawa Barat. Bentrok yang terjadi dalam unjuk rasa warga yang menolak pengembangan kawasan Rempang Eco-City, Kota Batam, Kepulauan Riau di depan kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, mengkonfirmasi kegagalan negara dalam memaknai prinsip – prinsip dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang diejawantahkan dalam UUD Tahun 1945.

“Tidak terkecuali, yaitu prinsip hak menguasai negara atas bumi dan air serta seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945,” ucap Sugeng Teguh Santoso Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sabtu (16/9/2023).

Dalam rilis resminya tersebut, STS sapaan akrabnya menegaskan, bahwa prinsip hak menguasai negara dan di pergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat harus dimaknai sebagaimana ditegaskan dalam beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), diantaranya : Putusan MK No. 002/PUU-I/2003, Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010; Putusan MK No. 36/PUU-X/2012.

Yang pada pokoknya, lanjut STS, menegaskan bahwa rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Sehingga jelas, bahwa Pasal 33 UUD 1945, menghendaki bahwa penguasaan negara itu harus berdampak pada sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat,” tandas Ketua IPW.

Masih kata STS, negara sangat mungkin melakukan penguasaan terhadap tanah dan sumber daya alam secara penuh tetapi tidak memberikan manfaat sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.

“Kriteria konstitusional untuk mengukur makna konstitusional dari penguasaan negara adalah dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” tandas STS.

Dan hal itu, seharusnya juga bisa dilaksanakan di Rempang maupun Galang. Sebab rakyat atau warga masyarakat di 16 kampung tua itu, telah tinggal sejak tahun 1834.

Maka sebaiknya, masyarakat suku Melayu dan suku – suku lainnya yang saat ini diduga berjumlah 10 ribu jiwa bisa dimakmurkan serta disejahterakan oleh negara sesuai dengan amanat UUD 1945.

IPW menilai, pengembangan kawasan Rempang yang telah direncanakan sejak tahun 2004 lalu melalui perjanjian kerjasama antara BP Batam dan Pemerintah Kota Batam dengan PT Makmur Elok Graha (PT MEG) yang telah menyiapkan pelaksanaan investasi Rempang Eco+City Development Strategy dengan rencana investasi kurang lebih Rp. 381 triliun dan ditindaklanjuti dengan menarik pemodal atau investor dari Cina dengan Perjanjian Chengdu 28 Juli 2023, tidak serta merta dapat di maknai untuk kemakmuran rakyat.

Meskipun rencana pengembangan kawasan Rempang ini dimasukkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

PSN, lanjut Ketua IPW, seharusnya bermuara pada kesejahteraan rakyat, bukan pada kepentingan kelompok swasta tertentu seperti PT. MEG yang terafiliasi dengan pengusaha keturunan Tionghoa, yaitu Tommy Winata atau TW.

“Apalagi dalam prosesnya, pada 2007 Polri pernah memeriksa Tommy Winata sebagai pihak yang mewakili PT. MEG terkait proyek Rempang Eco+City dalam dugaan kasus korupsi yang merugikan keuangan negara. Penyelidikan kasus ini harus dibuka pada publik proses hukumnya,” ujar STS.

Sebelumnya, telah terjadi bentrok antara pihak Polisi dengan warga masyarakat kawasan Rempang yang mempertahankan hak hidup nya. Menurut IPW, adanya upaya pelibatan Polri yang ikut dalam mempengaruhi masyarakat guna mendaftarkan diri untuk relokasi rakyat Rempang, bukan tugas Polri dan bertentangan dengan tugas, fungsi dan wewenang kepolisian berdasarkan UU No. 2 Tahun 2022 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

“IPW mengingatkan agar Polri memahami landasan filosofis kelembagaan Polri yang berjiwa Tri Brata dan Catur Prasetya sebagai sumber nilai Kode Etik Kepolisian yang mengalir dari falsafah Pancasila,” tegas Sugeng.

Ketua IPW menambahkan bahwa tindakan Polri dalam menjaga ketertiban umum harus dilakukan dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai humanisme dan prinsip-prinsip Tri Brata dan Catur Prasetya, serta tidak menjadi alat kekuasaan yang represif serta intimidatif terhadap rakyat.

Polri sebagai institusi keamanan negara harus menahan diri untuk tidak terlibat lebih jauh dalam hal urusan pengosongan lahan dan harus menarik anggotanya dari tindakan yang menyakiti hati rakyat.

“Polri harus senantiasa bertindak melindungi, mengayomi serta melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban,” imbuh Sugeng Teguh Santoso.

UUD 1945, lanjutnya, memberikan mandat khusus kepada Institusi Kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Sesuai Pasal 4 UU 2 tahun 2002 Tentang Polri, yakni dalam mewujudkan tujuannya Polri wajib menjunjung tinggi HAM.

Sebagai hasil reformasi, melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Polri dipisahkan dari institusi TNI. Dan reformasi kelembagaan ini dipertegas melalui UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Pengacara senior ini menegaskan, bahwa paradigma aparat negara harusnya menjaga berkembangnya sendi – sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, melakukan kewajiban yaitu perlindungan dan pengayoman, serta semangat penghormatan dan perlindungan pada Hak Asasi Manusia (HAM) .

Untuk memastikan implementasi penghormatan dan perlindungan HAM bagi pimpinan dan anggota Polri tersebut, pimpinan Polri telah menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Bahkan dalam Perkap tersebut di tegaskan pengakuan institusi Polri atas keberadaan masyarakat adat dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Budaya Lokal yang dimaksud dalam Peraturan Polri tersebut adalah adat, tradisi, kebiasaan atau tata nilai yang masih kuat dianut oleh masyarakat setempat dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketenteraman di lingkungan warga masyarakat setempat. Yang dalam hal ini adalah komunitas masyarakat Melayu yg mendiami 16 kampung Tua di Rempang.

“Untuk itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus menempatkan Polri dalam perspektif ke depan sebagai lembaga keamanan sipil yang humanis, menghormati hak asasi manusia dan berpihak pada rakyat serta bisa menolak tekanan kekuasaan agar Polri tidak dinilai tidak berpihak pada rakyat,” cetus STS.

IPW juga berharap agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bisa dapat mencontoh teladan mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso dalam menangani kasus penyelundupan mobil yang pernah dilakukan oleh pengusaha Robby Tjahyadi (pengusaha keturunan Tionghoa).

“Jenderal Hoegeng saat itu tetap bersikap independen dan tetap memproses hukum walau saat itu diketahui Robby Tjahyadi diduga dibekingi oleh Cendana,” ungkap STS.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *