Bekasi penanews.net Jawa Barat– Oleh:Al Allamah Asy Syaikh Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, MA* حفظه الله
Kurban memiliki beberapa syarat yang tidak sah kecuali jika telah memenuhinya, yaitu: [1]. Hewan kurbannya berupa binatang ternak, yaitu unta, sapi dan kambing, baik domba atau kambing biasa.
[2]. Telah sampai usia yang dituntut syari’at berupa jaza’ah (berusia setengah tahun) dari domba atau tsaniyyah (berusia setahun penuh) dari yang lainnya.
a. Ats-Tsaniy dari unta adalah yang telah sempurna berusia lima tahun
b. Ats-Tsaniy dari sapi adalah yang telah sempurna berusia dua tahun
c. Ats-Tsaniy dari kambing adalah yang telah sempurna berusia setahun
d. Al-Jadza’ adalah yang telah sempurna berusia enam bulan
[3]. Bebas dari aib (cacat) yang mencegah keabsahannya, yaitu apa yang telah dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
a. Buta sebelah yang jelas/tampak
b. Sakit yang jelas.
c. Pincang yang jelas
d. Sangat kurus, tidak mempunyai sumsum tulang
Dan hal yang serupa atau lebih dari yang disebutkan di atas dimasukkan ke dalam aib-aib (cacat) ini, sehingga tidak sah berkurban dengannya, seperti buta kedua matanya, kedua tangan dan kakinya putus, ataupun lumpuh.
[4]. Hewan kurban tersebut milik orang yang berkurban atau diperbolehkan (di izinkan) baginya untuk berkurban dengannya. Maka tidak sah berkurban dengan hewan hasil merampok dan mencuri, atau hewan tersebut milik dua orang yang beserikat kecuali dengan izin teman serikatnya tersebut.
[5]. Tidak ada hubungan dengan hakl orang lain. Maka tidak sah berkurban dengan hewan gadai dan hewan warisan sebelum warisannya di bagi.
[6]. Penyembelihan kurbannya harus terjadi pada waktu yang telah ditentukan syariat. Maka jika disembelih sebelum atau sesudah waktu tersebut, maka sembelihan kurbannya tidak sah
[Lihat Bidaayatul Mujtahid (I/450), Al-Mugni (VIII/637) dan setelahnya, Badaa’I’ush Shana’i (VI/2833) dan Al-Muhalla (VIII/30).
*HEWAN KURBAN YANG UTAMA DAN YANG DIMAKRUHKAN*
Yang paling utama dari hewan kurban menurut jenisnya adalah unta, lalu sapi. Jika penyembelihannya dengan sempurna, kemudian domba, kemudian kambing biasa, kemudian sepertujuh unta, kemudian sepertujuh sapi.
Yang paling utama menurut sifatnya adalah hean yang memenuhi sifat-sifat sempurna dan bagus dalam binatang ternak. Hal ini sudah dikenal oleh ahli yang berpengalaman dalam bidang ini. Di antaranya.
a. Gemuk
b. Dagingnya banyak
c. Bentuk fisiknya sempurna
d. Bentuknya bagus
e. Harganya mahal
*Sedangkan yang dimakruhkan dari hewan kurban adalah:*
[1]. Telinga dan ekornya putus atau telinganya sobek, memanjang atau melebar.
[2]. Pantat dan ambing susunya putus atau sebagian dari keduanya seperti –misalnya putting susunya terputus-
[3]. Gila
[4]. Kehilangan gigi (ompong)
[5]. Tidak bertanduk dan tanduknya patah
Ahli fiqih Rahimahulloh juga telah memakruhkan Al-Adbhaa’ (hewan yang hilang lebih dari separuh telinga atau tanduknya), Al-Muqaabalah (putus ujung telinganya), Al-Mudaabirah (putus dari bagian belakang telinga), Asy-Syarqa’ (telinganya sobek oleh besi pembuat tanda pada binatang), Al-Kharqaa (sobek telinganya), Al-Bahqaa (sebelah matanya tidak melihat), Al-Batraa (yang tidak memiliki ekor), Al-Musyayya’ah (yang lemah) dan Al-Mushfarah [1]
[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Syaikh Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah: Kholid Syamhudi Lc, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta]
_________
Foote Note:
[1]. Para ulama berselisih tentang makna Al-Mushfarah, ada yang menyatakan bahwa ia adalah hewan yang terputus seluruh telinganya dan ada yang mengatakan bahwa ia adalah kambing yang kurus. Lihat Nailul Authar (V/123) .-pent
*****
*****
*Kumpulan Fatwa-Fatwa Ulama Seputar Shalat Ied dan Kurban*
Segala puji bagi Alloh Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasululloh, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat, amma ba’du:
Alloh Subhaanahu wa Ta’ala memerintahkan kita bertanya kepada para ulama jika kita tidak mengetahui, Dia berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (Qs. An Nahl: 43 dan Al Anbiya: 7).
Berikut kami hadirkan fatwa-fatwa ulama seputar shalat Ied yang kami terjemahkan dari media telegram Fawaid wa Durar dan situs saaid.net, serta penulusuran lainnya, semoga Alloh menjadikan Penerjemahan Risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allohumma Amiin Aamiin Ya Mujibas Sa’ilin.
*Fatwa-fatwa ulama seputar shalat Ied dan Kurban*
1. Pertanyaan: Apa pendapat Anda tentang hukum shalat Ied?
Jawab: Menurutku, shalat Ied hukumnya fardhu ain, dan tidak boleh bagi kaum lelaki meninggalkannya, bahkan mereka harus menghadirinya, karena Nabi shallallohu alaihi wa sallam memerintahkan untuk menghadirinya, bahkan memerintahkan kaum wanita baik yang gadis maupun yang dipingit untuk keluar ke (lapangan) shalat Ied. Beliau juga memerintahkan wanita haidh untuk keluar menuju (lapangan) shalat Ied, akan tetapi mereka menyingkir dari tempat shalat. Ini menunjukkan penekanannya. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa wa Rasail jilid 16, kitab Shalatul Iedain). Menurut kami, bahwa kaum wanita diperintahkan diperintahkan juga untuk shalat Ied menyaksikan kebaikan dan ikut serta dengan kaum muslimin (yang laki-laki) dalam shalat mereka serta dalam doa mereka. Akan tetapi wajib bagi mereka keluar tanpa mengenakan wewangian dan tidak bertabarruj (bersolek), sehingga mereka dapat memadukan antara mengerjakan Sunnah Nabi shallollahu alaihi wa sallam dan menjauhi fitnah. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/211).
2. Pertanyaan: Apa saja adab di hari raya?
Jawab: (1) Dianjurkan bertakbir, (2) memakan kurma dalam jumlah ganjil sebelum berangkat shalat Ied (pada saat Iedul Fitri), (3) mengenakan pakaian yang indah, namun ini bagi kaum lelaki, adapun bagi wanita maka tidak mengenakan pakaian menarik ketika keluar ke lapangan shalat Ied, (4) mandi untuk shalat Ied, (5) mengucapkan selamat antara yang satu dengan yang lain, (6) bagi yang berangkat shalat Ied disyariatkan menempuh suatu jalan dan pulang melalui jalan yang lain. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/216-223) Thabrani dalam Al Kabir meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Habib bin Umar Al Anshariy dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah bertemu dengan Watsilah pada hari raya, lalu aku mengucapkan “Taqabbalallohu minna wa minka/minkum” (artinya: semoga Alloh menerima amal ibadah kami dan kamu), lalu ia menjawab, “Ya, taqabbalallohu minna wa minka/minkum,” (Mu’jam Kabir 22/52)
3. Pertanyaan: Apakah sunnahnya berangkat ke lapangan shalat Ied sambil berjalan ataukah menaiki kendaraan?
Jawab: Sunnahnya berjalan kaki kecuali jika butuh naik kendaraan, maka tidak mengapa. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/235).
4. Pertanyaan: Apa hikmah menempuh jalan yang berbeda pada hari raya?
Jawab: (1) Mengikuti Nabi shallallohu alaihi wa sallam, karena ini termasuk sunnah Beliau (2) menampakkan salah satu syiar, dan itu merupakan salah satu syiar shalat Ied di seluruh pasar yang ada di suatu negeri, (3) memperhatikan penduduk pasar yang terdiri dari kaum fakir dan lainnya, (4) kedua jalan yang dilaluinya itu akan memberikan kesaksian untuknya pada hari Kiamat, (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/237).
5. Kapan takbir dimulai pada hari raya Idul Fitri, dan kapan berakhirnya?
Jawab: Takbir pada hari raya (Idul Fitri) dimulai dari sejak tenggelam matahari akhir bulan Ramadhan hingga imam datang untuk shalat Ied. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/259).
6. Pertanyaan: Apa hukum shalat Ied di masjid?
Jawab: Makruh mengadakan shalat Ied di masjid-masjid kecuali ada uzur, karena sunnahnya adalah mengerjakannya di lapangan. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/230).
7. Pertanyaan: Kapankah waktu shalat Ied?
Jawab: Waktu shalat Ied dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak (kira-kira 15 menit setelah syuruq/matahari terbit) sampai tergelincir matahari (Zhuhur), hanyasaja dianjurkan shalat Idul Adhha dimajukan, sedangkan shalat Idul Fitri ditunda berdasarkan riwayat bahwa Nabi shallallohu alaihi wa sallam melakukan shalat Iedul Adha ketika matahari setinggi satu tombak, dan melakukan shalat Idul Fitri ketika matahari setinggi dua tombak (kira-kira setengah jam setelah syuruq -pent). (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/229).
8. Pertanyaan: Apa hukum mendahulukan khutbah Ied sebelum shalat?
Jawab: Mendahulukan khutbah Iedain sebelum shalat adalah bid’ah yang diingkari oleh para sahabat radhiyallahu anhum. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/249).
9. Pertanyaan: Apakah dalam pelaksanaan Ied ada dua kali khutbah atau satu kali?
Jawab: Sunnahnya khutbah Ied sekali saja, tetapi jika dilakukan dua kali maka tidak mengapa. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/248).
10. Pertanyaan: Apakah dalam shalat Ied ada azan dan iqamat?
Jawab: Dalam shalat Ied tidak ada azan dan iqamat. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/237)
11. Pertanyaan: Apa hukum panggilan (seperti Ash Shalatu Jami’ah, dsb.) untuk shalat Ied?
Jawab: Panggilan untuk shalat Ied (seperti yang disebutkan) adalah bid’ah yang tidak ada dasarnya.” (Ibnu Baz, Majmu Fatawa 23/13)
Panggilan untuk shalat Iedain dengan ucapan ‘Ash Shalatu Jami’ah’ dan kalimat semisalnya tidak diperbolehkan, bahkan hal itu merupakan bid’ah yang diada-adakan. (Fatawa Lajnah Daimah 8/316)
12. Pertanyaan: Bagaimanakah tatacara shalat Ied?
Rakaat pertama, dia bertakbir dengan takbiratul ihram, lalu membaca doa istiftah, kemudian bertakbir sebanyak enam kali. Setelah itu membaca surat Al Fatihah ditambah surat Al A’la atau surat Qaaf pada rakaat pertama.
Rakaat kedua, saat bangkit dari sujud ia bertakbir, kemudian bertakbir lagi sebanyak lima kali takbir ketika telah berdiri, lalu membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya. Jika pada rakaat pertama ia membaca surat Al A’la (setelah Al Fatihah), maka pada rakaat kedua ia membaca surat Al Ghasyiyah. Namun jika pada rakaat pertama ia membaca surat Qaaf (setelah Al Fatihah), maka pada rakaat kedua ia membaca surat ‘Iqtarabatis sa’atu wansyaqqal qamar’ (surat Al Qamar). (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/223)
13. Pertanyaan: Apa hukum shalat Ied yang hanya membaca takbiratul ihram pada shalatnya?
Jawab: Shalatnya sah jika hanya membaca takbiratul ihram, karena takbir tambahan setelahnya adalah sunah. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/238)
14. Pertanyaan: Kapan dimulai membaca doa istiftah dalam shalat Ied?
Jawab: Dimulai membaca doa istiftah setelah takbiratul ihram. Namun dalam masalah ini ada kelonggaran, sehingga jika seseorang menundanya dan memulainya setelah takbir terakhir, maka tidak mengapa. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/240)
15. Pertanyaan: Apa bacaan antara masing-masing takbir dalam shalat Iedain?
Jawab: Tidak ada dzikir tertentu di antara takbir-takbir itu, tetapi ia bisa memuji Alloh, menyanjung-Nya dan bershalawat kepada Nabi shallallohu alaihi wa sallam dengan cara yang ia kehendaki, dan jika ia tidak membacanya juga tidak mengapa, karena hal itu hukumnya sunah. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/241)
Disyariatkan baginya memuji Allah, mensucikan-Nya, mengagungkan-Nya, dan bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam antara masing-masing takbir. (Lajnah Daimah 8/302)
16. Pertanyaan: Apa hukumnya jika seorang lupa mengucapkan beberapa takbir (setelah takbiratul ihram) sehingga ia langsung membaca surat?
Jawab: Jika seorang lupa mengucapkan beberapa takbir dalam shalat Ied sehingga langsung memulai membaca surat, maka telah gugur (terlewat), karena hal itu hanyalah suatu sunah yang terlewatkan, sebagaimana seseorang ketika lupa membaca doa istiftah, lalu ia langsung membaca surat, maka gugur pula (membacanya). (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/244).
17. Pertanyaan: Apa hukumnya jika saya mendapatkan imam dan telah terlewatkan beberapa takbir tambahan?
Jawab: Jika engkau masuk dalam shalat bersama Imam di sela-sela takbir, maka terlebih dahulu bertakbirlah engkau sebagai takbiratul ihram, lalu sellebihnya ikutilah imam dan yang telah lewat menjadi gugur bagimu. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/245).
18. Pertanyaan: Bagaimana jika seseorang tertinggal dari mengucapkan beberapa takbir dalam shalat Ied?
Jawab: Menjadi gugur baginya dan ia tidak perlu mengqadhanya. Demikian pula ketika ia lupa atau lupa sebagiannya sehingga langsung memulai membaca, maka ia tidak perlu membacanya, karena takbir itu hanya sunah dan telah lewat tempatnya. Adapun jika ia terlambat (masbuq) sehingga terlewatkan satu rakaat secara sempurna bersama imam, maka ia bertakbir dengan mengucapkan beberapa takbir rakaat yang tertinggal itu. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/241).
19. Pertanyaan: Jika seorang masuk ke dalam shalat Ied, sedangkan imam telah selesai dari rakaat pertama, bagaimanakah mengqadhanya?
Jawab: Mengqadhanya setelah imam selesai salam sesuai pratek yang dilakukannya, yakni mengqadhanya dengan mengikuti takbir yang diucapkan imam. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/256).
20. Pertanyaan: Apakah khatib memulai khutbah Ied dengan istighfar atau dengan takbir?
Jawab: Adapun dengan istighfar, maka tidak demikian, dan aku tidak mengetahui adanya ulama yang berpendapat demikian, sedangkan dengan tahmid atau takbir, maka para ulama berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, dimulai dengan takbir, dan ada pula yang berpendapat, dimulai dengan tahmid. Namun dalam hal ini terdapat kelonggaran. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/248).
21. Pertanyaan: Apa hukum menghadiri khutbah Ied?
Jawab: Menghadirinya tidak wajib. Barang siapa yang ingin menghadirinya, menyimak dan mengambil manfaat silahkan, dan barang siapa yang ingin pergi juga silahkan. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/249).
22. Pertanyaan: Apakah sunnahnya khatib berdiri dalam shalat Ied ataukah duduk?
Jawab: Sunnahnya baik dalam khutbah Ied maupun khutbah Jumat adalah khatib berdiri. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/247).
23. Pertanyaan: Apakah sunnahnya bagi imam berkhutbah di atas mimbar dalam shalat Ied?
Jawab: Sebagian ulama menganggap sunnah, namun ulama yang lain berpendapat bahwa lebih utama khutbah Ied tanpa mimbar. Namun dalam hal ini terdapat kelonggaran. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/250).
24. Apa hukum takbir secara jama’i (bersama-sama) dalam hari raya?
Jawab: Takbir jama’i dalam hari raya tidak disyariatkan. Sunnahnya adalah manusia bertakbir dengan suara keras, dimana masing-masing mereka bertakbir. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/268).
25. Pertanyaan: Di tempat kami pada sebagian masjid seorang muazin mengeraskan takbir dengan pengeras suara, lalu orang-orang yang berada di belakangnya mengikuti ucapannya, apakah ini termasuk bid’ah ataukah dibolehkan?
Jawab: Ini termasuk bid’ah, karena yang sudak maklum dari petunjuk Nabi shallallohu alaihi wa sallam dalam hal dzikr adalah masing-masing orang berdzikir menyebut nama Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, tidak sepatutnya keluar dari petunjuk Nabi shallallohu alaihi wa sallam dan para sahabatnya. (Ibnu Utsaimin, As’ilah wa Ajwibah fi Shalatil Iedain hal. 31).
26. Pertanyaan: Seperti apa lafaz takbir dalam dua hari raya?
Jawab: Lafaznya ‘Allohu akbar, Allohu akbar, Laailaahaillallohu wallohu akbar, Allohu akbar walillahil hamd’ atau ‘Allohu akbar, Allahu akbar, Allohu akbar, Laailaahaillallohu wallahu akbar, Allahu akbar walillahil hamd.’ (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/259).
27. Pertanyaan: Saya pergi ke lapangan shalat Ied, namun saya dapatkan imam telah selesai shalat Ied dan mulai melakukan khutbah Ied, apakah saya harus mengqadha?
Jawab: Barang siapa yang tertinggal shalat Ied berjamaah, maka dianjurkan baginya untuk mengqadhanya kapan saja, pada hari itu yang masih tersisa, besoknya, atau lusanya. Akan tetapi para Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang tatacara mengqadhanya, ada yang berpendapat mengqadhanya empat rakaat dengan satu salam atau dua salam. Namun yang raiih (kuat) adalah pendapat jumhur (mayoritas) para Ahli Fiqih, yaitu bahwa shalat Ied diqadha sesuai praktek shalat Ied, sehingga engkau lakukan dua rakaat dengan tujuh kali takbir pada rakaat pertama, dan lima kali takbir pada rakaat kedua. Dan mengqadhanya bisa sendiri-sendiri atau berjamaah. (Syaikh Dr. Hisam Affanah, Dosen Fiqih dan Ushul Fiqih di Univ. Al Quds, Palestina).
28. Apabila kaum muslimin telah melakukan shalat Ied atau istisqa di luar kota di lapangan, maka tidak disyariatkan bagi orang yang mendatangi lapangan melakukan shalat sunah terlebih dahulu, baik tahiyyatul masjid maupun lainnya. Hal ini merupakan bentuk pengamalan terhadap hadits dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma, bahwa Nabi shallallohu alaihi wa sallam pernah keluar (ke lapangan) pada hari raya Idul Fitri, lalu shalat dua rakaat, dan tidak melakukan shalat apa-apa baik sebelumnya maupun setelahnya. Akan tetapi jika shalat Iedain atau shalat istisqa ditegakkan di salah satu masjid di kota itu, maka tidak mengapa melakukan shalat tahiyyatul masjid saat masuk, tetapi ia tidak melakukan shalat sunah lainnya. (Lajnah Daimah no. 12515).
29. Pertanyaan: Apa hukum shalat Ied bagi musafir?
Jawab: Tidak disyariatkan bagi musafir melakukan shalat Ied, akan tetapi apabila musafir berada di suatu kota yang ditegakkan shalat Ied di sana, maka ia diperintahkan untuk shalat bersama kaum muslimin. (Ibnu Utsaimin, Majmu Fatawa 16/236).
30. ✂️⚠️ LARANGAN BAGI ANDA YANG HENDAK BERKURBAN
🎙 Al Allamah Syaikhuna Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahulloh menjelaskan,
الشيخ: إذا دخل العشر عشر ذي الحجة وكان الإنسان يريد أن يضحي فإنه ينهى أن يأخذ من شعره أو ظفره أو بشرته شيئاً، لكن إذا احتاجت المرأة إلى المشط في هذه الأيام وهي تريد أن تضحي، فلا حرج عليها أن تمشط رأسها، ولكن تكده برفق، فإن سقط شيء من الشعر بغير قصد فلا إثم عليها، لأنها لم تكد الشعر من أجل أن يتساقط، ولكن من أجل إصلاحه،
“Apabila telah masuk sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah dan seseorang itu hendak berkurban, maka ia dilarang memotong sesuatu dari rambut, kuku atau bulu di badannya.
Namun apabila seorang wanita membutuhkan untuk menyisir rambutnya pada hari-hari tersebut dan dia hendak berkurban, maka tidaklah mengapa dia menyisir rambutnya, dan hendaknya ia sisir rambutnya dengan perlahan.
Jika ada sedikit rambutnya yang rontok tanpa sengaja, maka ia tidak berdosa, karena tujuan menyisir rambut bukanlah agar rambutnya berjatuhan, namun semata-mata untuk merapikan rambutnya saja”.
📼 Sumber: Silsilah Fatwa Nur ‘alad Darb (Vol. 283)
31. 🔪🍖 SATU SEMBELIHAN UNTUK SATU RUMAH
🎙️ Al Allamah Syaikhuna Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahulloh mengatakan,
إذا كانوا عائلة في بيت واحد كفتهم أضحية واحدة لأن النبي صلى الله عليه وسلم ضحى بأضحية واحدة عنه وعن أهل بيته وكان نساؤه اللاتي معه تسع نساء ومع ذلك ضحى عنهم أضحية واحدة أما إذا كان هؤلاء الأبناء كل واحد في بيته منفردا عن الآخر فإن على كل واحد منهم أضحي ولا تكفي أضحية الوالد عنهم.
“Apabila mereka adalah keluarga yang tinggal dalam satu rumah, maka cukup bagi mereka satu hewan qurban. Karena Nabi Shallallohu alaihi wa sallam pernah menyembelih satu hewan qurban untuk beliau dan keluarga beliau. Padahal saat itu istri beliau berjumlah sembilan orang namun beliau hanya menyembelih satu hewan kurban untuk mereka.
Adapun jika anak-anaknya tinggal terpisah di rumah masing-masing, maka bagi mereka menyembelih hewan kurban masing-masing dan hewan qurban ayah mereka tidaklah cukup untuk mewakili mereka”.
📚 Sumber: Silsilah al-Liqaus Syahri (vol. 18)
┈┈┈┈•✿❁✿•┈┈┈┈•
Wallohu a’lam wa shallallohu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.
Diterjemahkan Oleh: *Dr. Abu Yahya Marwan Hadidi, S.Pd, I, M.Pd, I* حفظه الله bin *Musa*
Diedit & Muroja’ah/Koreksi: *Dr. Abu Fayadh Muhammad Faisal Al Jawy al-Bantani, S.Pd, M.MPd, M.Pd, I* حفظه الله bin *Dr. H. Subo Sukamto, M.Sc* bin Allohuyarham *Mbah Robikun* Rahimahulloh bin Allohuyarham *Mbah Ki Nuryorejo* Rahimahulloh (Tokoh dari Desa Ngaglik, Kab. Purworejo-Jawa Tengah)
*Referensi/Maraji’:* Telegram Fawaid wa Durar, Maktabah Syamilah versi 3.45, https://saaid.net/mktarat/eid/103.htm dll. Barokallohu fiikum.
Hasbunalloh Wani’mal Wakil Ni’mal Maula Wani’man Natsir
Ahadun Ahad ☝️ Allohu Akbar ✊ Isy Kariman Aw Mut Syahidan (Hidup Mulia Atau Mati Syahid)
Babelan, Kab. Bekasi-Jawa Barat, 15 Juni 2023 M,
✍🏻 Oleh;
*Dr. Abu Fayadh Muhammad Faisal Al Jawy al-Bantani, S.Pd, M.Pd, I, M.MPd* حفظه الله (Babeh Fayadh/Kang Faisal) bin *Dr. H. Subo Sukamto, M.Sc* bin Allohuyarham *Mbah Robikun* Rahimahulloh bin Allohuyarham *Mbah Ki Nuryorejo* Rahimahulloh (Tokoh dari Desa Ngaglik, Kab. Purworejo-Jawa Tengah)
{ICMI/Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia Orda Kota Bekasi, Aktivis Pendidikan dan Kemanusiaan, Praktisi dan Pengamat PAUDNI/Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal, Aktivis Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat}.Raih Amal SHOLIH…!!!, Silahkan di Share seluas-seluasnya Info ini Khususnya yang Domisili di Bekasi Raya Kota dan Kabupaten, Syukron, Barokallohu’ fiikum*