Banjarbaru, penanews.net _ Kalimantan Selatan. Dewan Pimpinan Daerah Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (DPD ARUN) Kalimantan Selatan (Kalsel), yang juga menjadi bagian dari tim hukum BASA Rekan, menghadiri undangan mediasi kedua di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Kalimantan Selatan pada Selasa, 3 Juni 2025.
Tim DPD ARUN Kalsel dipimpin langsung oleh Ketua Badrul Ain Sanusi Al-Afif, S.H., M.H., didampingi oleh Sekretaris M. Hafidz Halim, S.H. Mereka hadir sebagai pendamping hukum warga transmigrasi yang terdampak pembatalan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Mediasi turut dihadiri oleh perwakilan pengadu, I Ketut Buderana selaku Ketua Forum Persatuan Eks Transmigrasi Rawa Indah Bekambit, tim hukum BASA, serta pihak teradu dari PT Sebuku Sejaka Coal (SSC) yang diwakili Dimas Handoyo, S.H.
Kegiatan mediasi ini merupakan tindak lanjut dari mediasi sebelumnya yang tidak dihadiri oleh pihak PT SSC. Kali ini, proses mediasi dipimpin langsung oleh Kepala Bidang Penetapan Hak dan Pendaftaran Kanwil BPN Kalsel, Langlang Tresna Permagati, S.Sit., M.H.
Sekretaris DPD ARUN Kalsel, M. Hafidz Halim, menyampaikan bahwa sengketa berawal dari pembatalan sepihak terhadap 717 SHM milik warga transmigran Desa Bekambit, Kecamatan Pulau Laut Timur, Kabupaten Kotabaru. Pembatalan itu dilakukan oleh Kanwil BPN Kalsel atas dasar usulan dari PT SSC, sebuah perusahaan tambang batu bara.
“Akibat pembatalan tersebut, warga kehilangan hak atas tanah yang telah mereka tempati dan garap sejak lama,” kata Halim kepada awak media usai mediasi.
Ia juga menjelaskan bahwa I Ketut Buderana sempat dikriminalisasi dalam kasus dugaan penggelapan sertifikat, padahal ia hanya memegang kuasa atas lahan milik warga bernama I Wayan Suada. Akibat kasus tersebut, Buderana divonis dua tahun penjara setelah sebelumnya I Wayan Suada lebih dulu ditahan.
“Ini kami nilai sebagai bentuk upaya sistematis untuk membungkam perjuangan warga mempertahankan haknya,” tegas Halim.
Setelah bebas, Buderana menggandeng DPD ARUN Kalsel dan tim hukum BASA untuk mendapatkan pendampingan hukum. ARUN Kalsel kemudian menempuh berbagai upaya, termasuk menyurati Komisi III DPR RI, mengajukan audiensi kepada Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, hingga mendesak Kanwil BPN Kalsel agar membuka ruang mediasi.
Dalam mediasi kedua ini, warga menyampaikan lima tuntutan. Empat di antaranya telah disepakati bersama, yakni realisasi program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), penetapan zona aman, penunjukan lokasi yang jelas, serta kejelasan status SHM.
Namun, satu poin belum mencapai kesepakatan, yakni mengenai kompensasi. Pihak perusahaan menawarkan tali asih sebesar Rp5.000 per meter persegi, sementara warga menuntut kompensasi sebesar Rp56.000 per meter persegi.
“Pihak BPN memberi waktu maksimal 14 hari untuk mencapai kesepakatan. Jika tidak tercapai, kami akan menempuh jalur hukum dan mendesak Menteri ATR/BPN membatalkan Surat Keputusan pembatalan SHM,” tegas Halim.
Halim juga menyampaikan apresiasi kepada Ketua Umum DPP ARUN, Dr. Bob Hasan, S.H., M.H., dan Sekretaris Jenderal Bungas T. Fernando Duling yang terus mengawal kasus ini. Ia menyebut Sekjen ARUN telah menjalin komunikasi langsung dengan Menteri ATR/BPN untuk mencari solusi atas persoalan yang dihadapi warga.
(Aswad)