oleh

Puisi: Hari Minggu di Ujung Waktu

Hari Minggu datang perlahan,
seperti desir angin yang lembut di pagi hari.
Mentari tersenyum tanpa terburu,
membangunkan kota dengan sabar dan damai.
Burung-burung bernyanyi riang,
seolah tahu bahwa dunia sedang berlibur
dari letihnya hari-hari kemarin.

Jalanan masih lengang,
hanya suara langkah kaki yang pelan
dan aroma kopi dari sudut-sudut rumah
yang menari di udara.
Di balik jendela,
sepasang mata menatap langit biru,
menyusun rencana tanpa beban.

Anak-anak bermain di halaman,
tawa mereka adalah musik bagi pagi yang malas.
Tak ada bel sekolah,
tak ada suara klakson terburu-buru.
Hanya kebebasan yang mengalir
dari waktu yang tak dikejar,
dan ruang yang tak dituntut.

Seorang ibu menyiapkan sarapan,
bukan karena harus, tapi karena cinta.
Ayah membaca koran yang nyaris usang,
menemani secangkir teh yang mulai dingin.
Di meja, cerita seminggu dibagikan
tanpa jeda, tanpa lupa,
seolah semua kembali ke pangkuan rumah.

Minggu siang adalah peluk hangat
dari kasur yang memanggil kembali.
Waktu berjalan lambat,
mengajak rebah dan merenung.
Tentang hari kemarin yang penuh luka,
dan harapan esok yang masih rahasia—
semua terasa lebih ringan di hari Minggu.

Sore membawa warna jingga,
langit melukis senja dengan tenang.
Langkah-langkah kecil menyusuri taman,
mencari damai dalam angin yang menyapa.
Hari Minggu menutup mata dengan lembut,
memberi jeda sebelum dunia kembali bising,
sebelum hidup kembali mengetuk pagi.

Hari Minggu bukan sekadar hari,
ia adalah nafas panjang sebelum berlari.
Ia adalah pelukan waktu,
tempat hati bersandar dan jiwa kembali utuh.
Dalam sunyi yang mendamaikan,
kita belajar untuk berhenti sejenak,
dan mencintai hidup—pelan-pelan.