Mengenang Tragedi Pembantaian Umat Islam Maluku (Idul Fitri Berdarah)

 

Bandung ,penanews.net Jawa Barat- Peristiwa yang bertepatan dengan tanggal 1 Syawal 1420H itu menjadi tragedi berdarah dan memilukan bagi umat Islam Maluku pada khususnya dan seluruh kaum Muslimin pada umumnya.

Peristiwa tersebut menunjukkan wajah asli kaum Salibis yang secara biadab dan brutal melakukan pembantaian dan penyerangan terhadap kaum Muslimin Ambon yang tengah merayakan Hari Raya Idul Fitri.

Ribuan nyawa Muslim melayang, puluhan ribu dari mereka harus eksodus atau mengungsi dari Ambon demi keselamatan mereka tanpa membawa barang apapun karena rumah-rumah atau barang-barang mereka telah hangus terbakar dan dijarah para perusuh salibis.

Peristiwa Idul Fitri berdarah 19 Januari 1999 bukanlah satu-satunya peristiwa yang menjadi fakta kebrutalan salibis terhadap kaum Muslimin di Maluku. Bisa dikatakan, peristiwa tersebut adalah yang terbesar sekaligus awal dari berbagai peristiwa pembantaian secara masif terhadap kaum Muslimin di Maluku sejak tahun 1998.

Tragedi Idul Fitri berdarah juga telah menjadi awal letupan terjadinya “perang agama” antara kaum Muslimin dan kaum salibis secara berkepanjangan hingga perjanjian damai tahun 2002. Rangkaian peristiwa pembantaian terhadap kaum Muslimin oleh para teroris salibis yang bermula di Ambon berlanjut sampai Maluku Utara. Salah satu peristiwa paling mengenaskan, setelah Tragedi Idul Fitri berdarah adalah pembantaian kaum Muslimin yang tengah berlindung di dalam masjid di kecamatan Tobelo, Halmahera Maluku Utara. Ketika itu mereka diserang kaum salibis.

Ratusan kaum Muslimin menjadi korban dalam peristiwa pembantaian tersebut. Saking banyaknya mayat yang ada di dalam masjid, sebagian besarnya hangus terbakar. Untuk membersihkan masjid dan mengangkat jenazah yang akan dikuburkan secara massal itu, sampai-sampai diperlukan buldozer untuk mengangkutnya.

Kesaksian Utusan Dewan Dakwah : Orang Kristen Ambon Plus Aparat Lokal Membantai Umat Islam!!!!

Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mengirimkan utusannya, M Hafidz MSc, ke Ambon untuk mengirimkan bantuan dan meliput tragedi pembantaian Muslimin yang dilancarkan oleh orang-orang Kristen. Penyerangan dan pembantaian itu berlangsung sampai 3 bulan, Januari hingga April 1999.

Berikut ini kesaksian M Hafidz selaku wakil ketua KOMPAK (Komite Penanggulangan Krisis) satu lembaga di lingkungan DDII. Sejumlah gambar foto hasil rekamannya pun dimuat di buku ini (Ambon Bersimbah Darah oleh Hartono Ahmad Jaiz, Dea Press, Jakarta, 1999).

Dari dulu, kaum keristen ambon telah menjadi pasukan salibis (KNIL Belanda).

Penyerangan yang dilakukan orang-orang Kristen terhadap Muslimin di Ambon khususnya, dan di Maluku pada umumnya, jelas-jelas menunjukkan tingginya kebencian mereka terhadap ummat Islam.

Bayangkan. Mereka sudah menyerang ummat Islam di Hari Raya Idul Fitri 1419H tanggal 19 dan 20 Januari 1999M. Mereka membantai ummat Islam, maka banyak jatuh korban tewas, dan banyak pula yang luka-luka.

Orang-orang Kristen itu menyerang dalam keadaan mabuk habis minum-minum. Setiap kali mereka menyerang selalu dalam keadaan mabuk seperti itu. Senjata mereka adalah panah beracun, panah berapi, parang, tombak, bom molotov, senjata api, bahkan basoka RPG7, senjata Amerika atau NATO.

Semuanya itu sudah dipersiapkan sejak Oktober 1998, 4 bulan sebelum mereka menyerang Muslimin. Sedang Ummat Islam tidak siap apa-apa.

Maka kala itu (awal-awal diserangnya itu) ummat Islam banyak jatuh korban.

Setelah Ummat Islam diserang orang-orang Kristen, korban-korban yang luka dibawa oleh Muslimin ke rumah sakit umum di Kampung Kuda Mati, Kota Ambon. Kampung Kuda Mati itu kampung Kristen. Lalu orang-orang Kristen menyerbu masuk ke rumah sakit umum itu, memeriksa para medis RSU dengan memeriksa KTP (kartu tanda penduduk), kalau ternyata Islam maka diserang.

Sedang pasien-pasien yang luka yakni korban-korban akibat serangan orang Kristen yang kemudian dikirim ke RSU ini, lalu dibunuhi oleh orang-orang Kristen yang datang dan menyerang secara membabi buta itu. Ini jelas-jelas biadab, dan perang agama.

Sampai-sampai, orang-orang Kristen itu menyerbu ke kantor-kantor Pemda (Pemerintah daerah), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Pos dsb di Ambon, dengan memeriksa KTP para pegawai. Kalau ternyata pegawai itu KTPnya bertanda agama Islam maka dibunuh. Ada yang dibunuh di halaman kantor. Itu semua tidak ada lain, hanya karena mereka itu benci kepada Islam.

Tanpa belas kasihan,mereka melakukan pembantaian secara membabi Buta! Tidak perduli anak”ibu” maupun orang” tua yang jelas” tidak melakukan perlawanan tapi Mereka Bantai semua secara Keji dan BIADAB!!!!!!!

Aparat Kristen lokalpun terlibat dalam membantaian kaum Muslimin!

Kebrutalan mereka yang sudah sebegitu itu masih pula ditambahi dengan pembunuhan atau penyelenggaraan pembunuhan yang dilakukan oleh aparat keamanan yakni polisi dan tentara lokal yang beragama Kristen terhadap ummat Islam.

Cara-cara menyerang .

Cara-cara orang Kristen menyerang Muslimin yaitu mereka datang bergelombang, dalam keadaan mabok, matanya merah-merah karena habis minum-minuman keras. Mereka membawa panah beracun, panah berapi, parang, dan bom-bom molotov untuk membakar.

Orang-orang Kristen itu sudah mempersiapkan diri untuk menyerang Muslimin.

Parang (golok) yang dijadikan senjata tu sudah dipersiapkan sejak Oktober 1998. Mereka memesan ratusan parang dari Kampung Iha di Saparua.

Hanya saja orang Islam tidak faham, untuk apa ratusan parang didatangkan ke Ambon oleh orang-orang Kristen itu. Ada juga yang merakit senjata.

Menurut sumber dari Korem —yang tentu saja tidak bisa disebutkan namanya— senjata-senjata itu diantaranya didatangkan dari Belanda dibarengkan dengan pengiriman mayat. Ada pengiriman mayat dari Belanda sebanyak 6 atau 7 kali, tidak sekaligus. Peti-peti mati yang dikirim dari Belanda itu diisi pula dengan senjata RPG7 Basoka (senjata Amerika ataupun NATO). Itulah yang kemudian untuk menyerang ummat Islam, di antaranya di Saparua.

Penyerangan di luar Ambon, selain di Ahuru, terakhir di Maluku Tenggara, tepatnya di Tual, di Kampung Larat, Jum’at berdarah (2 April 1999M). Dalam penyerangan brutal itu imam Masjid Larat, H Abdul Aziz Rahayantel dibunuh di dalam masjid, Jum’at itu. 3 orang Muslim dibunuh di dalam masjid. Tidak sampai seminggu, korban meninggal sudah mencapai lebih dari seratus orang. Di kampung Kei Besar yang meninggal paling banyak Muslim, sedang di Kampung Kei Kecil kebanyakan yang meninggal Katolik. Ini baru saja saya berhubungan dengan pihak sana.

Orang-orang Kristen menyerang ummat Islam itu tidak tentu waktunya. Kadang-kadang malam, kadang-kadang shubuh, kadang siang atau sore. Seperti di Hari Raya Idul Fitri itu penyerangan terhadap ummat Islam dilakukan siang hari menjelang sore, tetapi saat lain, peristiwa shubuh berdarah itu waktu shubuh. Sedang di Larat, penyerangan terhadap ummat Islam dilakukan ba’dal Jum’at, siang hari.

Itulah kebencian orang Kristen terhadap ummat Islam yang diujudkan dengan penyerangan, pembunuhan, pembakaran, dan pengrusakan, yang justru didukung oleh aparat keamanan setempat. (H. Hartono Ahmad Jaiz).

April 1999M, Dzulhijjah 1419H

(Dari Buku Hartono Ahmad Jaiz, Ambon Bersimbah Darah, Dea Press, Jakarta, 1999, halaman 93-97).

Memang mengherankan, kasus Ambon yang besar ini dengan korban yang begitu banyak di kalangan muslim tapi pemimipin negeri ini, SBY tidak bereaksi. Namun ketika terjadi peristiwa bom bunuh diri di GBIS Kepunton Solo, SBY langsung bereaksi. Betapa tidak adilnya pemimpin negeri ini.

Mengenang Pembantaian Muslim Di TOBELO Oleh Kristen, Agama Yang Penuh Damai Dan Kasih…

Tobelo merupakan sebuah kota kecamatan di Maluku Utara. Tragedi pembantaian Tobelo merupakan rangkaian kasus Ambon Berdarah yang terjadi sejak 19 Januari 1999. Kasus Tobelo sendiri berlangung mulai 24 Desember 1999 hingga 7 Januari 2000. Menurut catatan Tim Investigasi Pos Keadilan Peduli Ummat, 688 orang tewas dan 1.500 dinyatakan hilang.

Tragedi pembantaian di Tobelo ini, bermula ketika Sinode GMIH (Gereja Masehi Injil di Halmahera) mengkoordinir pengungsian umat Kristen ke Tobelo, yang jumlahnya mencapai 30.000 orang, yang dilakukan secara bertahap, sejak pertengahan November hingga awal Desember 1999.

Puncaknya, pada Jumat 24 Desember 1999 malam (menjelang Hari Natal 25 Desember 1999) dengan beberapa buah truk, telah diangkut ratusan warga Kristen dari Desa Leleoto, Desa Paso dan Desa Tobe ke Tobelo. Dengan alasan untuk pengamanan gereja.

Warga Kristen yang diangkut tersebut menggunakan atribut lengkap (seolah-olah mau perang), seperti kain ikat kepala berwarna merah, tombak, parang dan panah.

Mengetahui gelagat yang kurang baik dari warga Kristen tersebut, umat Islam Tobelo mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Saat itu umat Islam sedang dalam suasana menjalankan ibadah shaum ramadhan. Akhirnya pada 26 Desember 1999, pecahlah pembantaian yang dikesankan adanya kerusuhan, konflk horizontal. Padahal, sebelumnya tidak ada konflik apa-apa. Tragedi ini konon dipicu oleh adanya persoalan sepele berupa pelemparan batu terhadap rumah milik Chris Maltimu seorang purnawirawan polisi. Rupanya pelemparan terhadap rumah Chris Maltimu itu dijadikan trigger untuk aksi pembantaian yang sudah dirancang sebelumnya.

Menurut Ode Kirani, warga muslim dari desa Togoliwa, kecamatan Tobelo, Halmahera, pada 27 Desember 1999, saat warga desa sedang menjalankan ibadah puasa, tanpa diduga sebelumnya ribuan masa kristen yang berasal dari desa tetangga (antara lain, Telaga Paca, Tobe, Tomaholu, Yaro, dan lain-lain) menyerang desa Togoliwa di saat subuh. Akibat serangan mendadak tersebut ribuan warga muslim di desa tersebut menemui ajal. Kebanyakan dari mereka terbunuh saat berlindung di masjid. (Ambon, Laskarjihad.or.id 16 03 2001).

Rabu, 29 Desember 1999, di Mesjid Al Ikhlas (Kompleks Pam) tempat diungsikanya para ibu dan anak-anak, terjadi pembantaian terhadap sekitar 400 (empat ratus) jiwa. Menurut penuturan saksi mata, ada korban yang sempat jatuh dicincang dan dijejerkan kepala mereka di ruas jalan. Ada juga beberapa wanita yang dibawa ke Desa Tobe (sekitar 9 KM ) dari Desa Togoliwa, kemudian dikembalikan dalam keadaan telanjang. Modus operasi yang dilakukan oleh kelompok merah mula-mula melakukan pemboman kemudian dilanjutkan dengan pembakaran, sehingga tidak ada satu pun yang lolos dari sasaran mereka.

Menurut sebuah sumber, total korban di Tobelo dan Galela mencapai 3000 jiwa, 2800 di antaranya Muslim. Namun demikian, angka yang diakui Max Marcus Tamaela yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Pattimura adalah 771 jiwa. Meski angka itu masih jauh dari kenyataan, namun masih jauh lebih banyak dibanding dengan angka yang diakui Gus Dur yaitu ‘hanya’ lima orang saja.

Ketika pembantaian Tobelo terjadi, Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Bila menurut penglihatannya korban Tobelo-Galela hanya lima orang saja, kita harus maklum. Karena, pertama, Gus Dur itu pembela kaum minoritas. Kedua, penglihatannya memang terganggu. Kala itu, Menkopolkam dijabat oleh Wiranto, dan Panglima TNI dijabat oleh Widodo AS. Sayangnya, posisi mereka saat itu tidak bisa memperbaiki kualitas penglihatan Gus Dur terhadap kasus pembantaian umat Islam di sana. Padahal mereka juga beragama Islam.

Hajjah Aisyah Aminy, SH, yang kala itu menjabat sebagai anggota Komnas HAM, menyesalkan sikap aktivis LSM yang selama ini dikenal sebagai pejuang keadilan masyarakat, namun membisu ketika umat Islam yang jadi korban. Aisyah juga menyesalkan sikap media massa yang kurang antusias memberitakan peristiwa di Maluku itu. Tapi kalau yang mati adalah teman mereka sendiri, meski hanya satu orang seperti Munir, mereka heboh bukan main dengan membawa-bawa alasan pelanggaran HAM sampai ke hadapan Bush segala.

Bila kita mendasarkan pada angka yang diakui Tamaela, yaitu 771 jiwa, jumlah itu pun masih jauh lebih banyak dari korban Bom Bali Pertama dan Kedua. Apalagi bila ditambah dengan korban pembantaian yang dilakukan Tibo cs terhadap warga pesantren Walisongo, jumlah koran Bom Bali secara keseluruhan masih jauh lebih kecil. Namun perhatian dunia, kalangan LSM, kalangan pers, dan pemerintah Indonesia sendiri, kurang hirau bahkan cenderung mengabaikan korban Tobelo-Galela dan Poso (termasuk warga Pesantren Walisongo)

Kesaksian Korban Kerusuhan Maluku

Kebiadaban massa Kristen terhadap umat Islam di Maluku memang sungguh keterlaluan. “Ini merupakan peristiwa keji yang lebih sadis dari apa yang dilakukan PKI,” tegas Camat Galela, Drs. Ichwan Marzuki (Republika, 5/1). Dibawah ini hanyalah segelintir dari saksi hidup yang berani memberi kesaksian seputar kekejaman umat Kristen di Maluku.

>Mufli M. Yusuf (15 th) SMP Al-Khairat Kelas III, Desa Popelo,Tobelo:

Rabu, (21/12/99) pk.09.00 WIT. Orang-orang Kristen dari Kampung Kusur Telaga Panca, dan Kao menyerang Desa Togolihua yang Muslim. Kami, ribuan umat Islam, berlindung ke Masjid al-Ikhlas. Masjid dikepung lalu di bom (bom pipa rakitan, menunjukkan bahwa pihak Kristen sudah mengadakan persiapan sebelumnya).

Orang-orang kafir itu juga memanah ke dalam Masjid dengan panah yang telah dilumur darah babi. Sebagian dari mereka melempari Masjid dengan batu-batu besar hingga banyak tembok Masjid yang bolong. Kami yang ada di Masjid –kebanyakan anak kecil dan ibu-ibu– akhirnya menyerah setelah satu jam di gempur perusuh Kristen.

Orang-orang kafir itu lalu menyerbu ke dalam Masjid, lebih dari 500 orang Islam lari keluar Masjid. Ada yang masuk hutan, ada pula yang menyerah. Tubuh saya berlumur darah, mungkin sebab itu mereka mengira saya sudah mati. Di sekeliling saya ada banyak sekali, sekitar 600 orang, syahid dengan kondisi amat menyedihkan.

Dalam penyerangan itu, saya lihat banyak muslimah yang ditelanjangi orang Kristen. Walau para muslimah itu berteriak-teriak minta ampun, tapi dengan biadab mereka diperkosa beramai-ramai di halaman Masjid dan di jalan-jalan. Setelah itu mereka di bawa ke atas truk, juga anak-anak kecilnya, katanya mau dipelihara oleh orang Kristen. Para muslimah yang tidak mau ikut langsung dicincang hidup-hidup. Orang kafir itu saling berebutan mencincang bagai orang berebutan mencincang ular.

Seorang muslimah digantung hidup-hidup lalu dibakar. Pukul 13.00 WIT, perusuh Kristen itu membakar habis Masjid dengan lebih 600 tubuh syuhada didalamnya. Saya yang penuh luka bakar dengan susah payah keluar dari Masjid lewat tembok yang bolong.

Saya mencari orang Islam yang masih hidup, tapi tidak ada. Semua rumah penduduk Muslim juga sudah terbakar. Saya akhirnya bertemu dengan seorang Polisi Muslim dan dibawa ke Polsek. Saya dirawat selama tujuh hari bersama korban yang lain. Dan kini saya berada di suatu tempat di Ternate.

>Ibu Musriah (40 th) Pengungsi asal Makian Talaga:

Saya juga berlindung di Masjid yang sama. Lebih dari 50 laki-laki Muslim dicincang termasuk suami saya. Bagian belakang kepala saya juga mereka tebas dengan golok, tapi alhamdulillah saya masih hidup. Telapak tangan saya ini ditembus panah. Saya dan tiga orang anak lainnya diselamatkan aparat Muslim.

>Ibu Nurain (20 th):

Suami saya, Asnan Awal, telah syahid dibunuh orang kafir. Saya sendiri dalam peristiwa yang sama kena panah di panggul kiri. Di dalam Masjid, ibu-ibu dan anak-anak kecil banyak yang ketakutan. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, banyak anak-anak usia balita diambil oleh orang Kristen dengan paksa. Saya memohon dengan lemah agar saya dan anak saya yang masih kecil (3 th) jangan dibunuh. Akhirnya bersama enam Muslimah lainnya, saya diikatkan kain merah di kepala dan di masukkan ke atas truk. Kami melewati Desa Kupa-Kupa, di Desa Usosiat, anak saya diambil dan diserahkan ke rumah pendeta. Saya waktu di Masjid juga melihat ada seorang Muslimah yang masih gadis dibakar hidup-hidup gara-gara tidak mau melayani syahwat orang kafir itu.

>Ibu Yani Latif (17 th):

Suami saya telah syahid. Anak saya, yang masih bayi, Nita (13 bulan) diambil orang Kristen. Dengan truk saya juga dibawa ke Desa Kupa-Kupa, tapi saya melarikan diri dan kembali ke Togolihua. Masjid al-Ikhlas telah jadi puing dengan tumpukan mayat yang telah hangus terbakar.

>Syahnaim (25 th):

Dua anak saya yang berusia enam dan tujuh tahun diambil orang Kristen. Sedang adiknya, Awi (2 th) dicincang mereka hingga syahid. Saya melihat sendiri, bagaimana sadisnya Bahrul (32 th) dibunuh orang kafir. Mayatnya disalib, dan naudzubillah, kemaluannya dipotong. Lalu potongannya itu disumpalkan ke mulut mayatnya. Seorang anak balita, Saddam (5 th) digantung lalu dibelah dari atas ke bawah seperti ikan. Nenek Habibab (80 th) digantung di pohon jeruk yang diikat dengan rambutnya di pohon lalu dicincang.

Hamida Sambiki (18 th), muslimah ini diambil paksa oleh orang Kristen dari Masjid An-Nashr Desa Popelo. Ayahnya yang berusaha menahan di bantai. Para perusuh Kristen merencanakan mau mengawinkan Hamida dengan anak pendeta di Tobelo. Namun oleh seseorang yang mengaku keluarga Nasrani, Hamida berhasil diselamatkan ke Polsek Tobelo. Hamida saat di Masjid An-Nashr melihat pembantaian umat Islam oleh perusuh Kristen.

Munir (25 th) dibakar hidup-hidup dan mulutnya disumpal kotoran manusia, Haji Man (70 th) dipenggal lalu kepalanya yang sudah terpisah dengan tubuhnya itu ditusuk dengan panah dan dibuat mainan diputar-putar di dalam Masjid. Hamida juga melihat bagaimana seorang Muslim, Malang (50 th), dibunuh secara sadis. Kemudian jantungnya diambil. Orang kafir yang mengambil jantungnya berkata, “Ini buat hadiah lebaran”

Ridwan Kiley (29 th) dan Ibu Rahmah Rukiah, Keduanya penduduk Desa Lamo, Kecamatan Galela. Menuturkan kesaksiannya, setelah selamat dari ‘neraka’ pembantaian orang Kristen di Galela (26/12), di Islamic Centre, Ambon, seperti dikutip dalam Republika (5/1).

Pada Ahad sore (26/12/99), Kecamatan Galela yang didiami mayoritas Muslim diserang massa Kristen dari tiga Kecamatan mayoritas Kristen: Loloda, Ibu, dan Tobelo. Penyerangan di Galcia, juga menimpa Desa Lamo. Pukul 14.00 siang lebih dari 7.000 massa Kristen menyerang. Sekitar 200 warga Muslim Desa Lamo bertahan.

Perlawanan itu dipimpin Imam Masjid Nurul Huda, Ds. Lamo, H. Djailani. Saat itu, massa Kristen memotong puluhan ekor babi disepanjang kampung dan darahnya dilumuri ke senjata-senjatanya. “Wanita-wanita mereka juga bertelanjang dan menari-nari di sepanjang kampung,” kata Ridwan dan Ibu Rukiah. Tak berapa lama, serangan serentak dilakukan dan Desa Lamo dikepung.

Dalam pertempuran, Imam Djailani menemui syahid. Dengan sadis mayat Imam Djailani di salib dan ditempatkan di perbatasan Desa Lamo dan Kampung Duma. Setelah beberapa jam tergantung di tiang salib, baru pada malam harinya mayat Imam Djailani diturunkan dan dikuburkan oleh warga Muslim yang berhasil menyelamatkan diri.(dm).

Yang sangat menyakitkan hati umat Islam adalah PARA PEMBANTAI UMAT ISLAM MALUKU TIDAK PERNAH DISENTUH OLEH HUKUM… SAMPAI SEKARANG !

Dikisahkan Oleh:

*ABU FAYADH MUHAMMAD FAISAL AL-JAWY AL BANTANI, S.Pd, M.Pd, I, M.MPd*

(Mantan Pembina/Dewan Syuro’ GPAPB/Gerakan Pelajar Anti Pemurtadan Bekasi dan Pendiri FAPB/Front Anti Pemurtadan Bekasi, Aktivis Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat, Praktisi dan Pengamat PAUDNI/Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal, Aktivis Pendidikan dan Kemanusiaan)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *